Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Asma Mustafa: Pendidikan Sebagai Ruh Kehidupan



Rabu , 11 Juni 2025



Telah dibaca :  513

Setelah makan malam-nasi kotak dari Mas Edi Purnomo dan dosen muda berbakat, Tuti Nuriyati dan Reski Lestari-saya nongkrong di dekat dosen-dosen Pendidikan Bahasa Arab [PBA]. Kajur Tarbiyah, Wan Fariq terlihat semakin langsing. Ia ikut nirakati persiapan akreditasi PBA. Saya pun ikut-ikut tirakat “melekan”. Membantu yang tidak berat-berat, seperti membantu menghabiskan “gorengan tempe dan pisang” dan kopi.

Sambil minum kopi, saya teringat seorang guru perempuan dari palestina. Ia berdiri di reruntuhan puing-puing rumah, hotel, dan gedung-gedung sekolah. Asap mesiu masih belum hilang. Tangisan bayi karena luka. Anak-anak dan remaja sudah tidak menangis. Air mata nya kering. Mereka harus tegar berdiri dalam penderitaan. mereka tidak perlu berfikir fasilitas sekolah, buku, pensil dan Gedung sekolah. Semua tidak penting. mereka telah menemukan harta yang sangat berharga, yaitu jiwa masih berada di badan. Itu modal utama. Itu yang menjadi semangat untuk bangkit mewujudkan kemerdekaan masa depan palestina. Tidak peduli kapan itu terwujud. Tapi jiwa yang paling dalam yakin, janji Tuhan pasti akan datang. Kegelapan akan hilang, dan cahaya kemerdekaan akan segera datang.

Demikian ucapan-ucapan seorang guru perempuan Palestina bernama Asma Mustafa. Ia mendedikasikan dirinya sebagai guru di hamparan kota yang hancur laksana kota mati di Gaza. Baginya pendidikan merupakan long life education. Ia tidak terikat di sebuah gedung. Alam semesta ini merupakan media belajar dan sekaligus bahan ajar yang sangat kaya. Ia memperkenalkan edukasi yang menyenangkan di kondisi yang serba susah. Ia bisa menciptakan kegembiraan, ada canda-tawa anak-anak kecil yang kehilangan rumah dan orang tuanya. Ia mampu menciptakan optimisme dalam keterbatasan.

“Masyarakat Palestina berhak memimpin dunia pendidikan,” kata Mustafa menjelaskan visinya. Kalimat pendek, tapi menggetarkan jiwa. Ia tidak peduli seperti apa bangsa dan negara palestina saat sekarang ini. Ia tidak tertarik diskusi rumit tentang fasilitas pendidikan. Diskusi hanya menghabiskan energi. Pohon persoalan yang komplek di Palestina sudah dipangkas. Hanya satu akar persoalan di Palestina, yaitu pendidikan. Maka, ia menghabiskan waktu muda nya menghidupkan obor-obor peradaban di tengah-tengah deru mesiu dan kepulan asap gedung dan ban-ban mobil di jalan-jalan.

Saya kadang berfikir dan berkata dalam hati: “Terbuat dari apa jiwa Asma Mustafa”. Ia semangat mendidik dengan segala keterbatasan fasilitas. Sekali lagi dengan segala keterbatasan fasilitas. Gedung nya adalah tenda-tenda lusuh dan alam semesta ini. Atap nya langit, dan lantainya bumi. Serta AC ruangan adalah angin yang sudah tidak terasa oksigen lagi. Angin yang terasa panas di dada akibat kondisi wilayah Gaza berisi bangkai mobil, bangunan dan mayat manusia.

Asma Mustafa mengajar full time. Tidak ada hari libur, tanggal merah dan hari-hari kejepit. Semua kalender baginya warna hijau. Tidak ada tanggal muda dan tanggal tua. Semua tanggal terasa tua. Tapi semangatnya membara berjiwa muda.

Asma Mustafa tidak mengenal kata pensiun. Baginya kata pensiun saat berjumpa dengan Allah. Ia baru bisa istirahat dan libur panjang saat telah meninggal dunia. Hidup yang sebentar sangat berharga sekali. ia mewakafkan seluruh hidupnya untuk anak-anak palestina. Bukan hanya waktunya, tapi juga jiwa, raga dan hartanya.

Saya merenung memikirkan dedikasinya. Sangat luarbiasa. energinya full dan tidak pernah merasa sedih dengan segala keterbatasan. Ia sangat semangat mendidik dan selalu riang gembira.

Apakah asma Mustafa merupakan wujud dari watak asli masyarakat palestina yang daerah tersebut sering disebut sebagai “kota yang diberkati?”. Bisa jadi demikian. Asma Mustafa dan asma-asma lainnya telah diberkati bukan pada limpahan harta, tapi pada limpahan ketulusan yang luarbiasa dipersembahkan kepada Allah SWT. ia telah mengenal hakikat hidup di tengah-tengah keterbatasan. Ia telah menikmati profesi sebagai pendidik di tengah-tengah kehidupan yang sangat sulit mendapatkan segelas air minum.

Kenapa saya tidak mendapatkan rasa ladzat dalam mendidik generasi-generasi muda. Jangan-jangan saya belum mendapatkan diri sebagai manusia yang diberkati oleh Allah.  Mungkin hati ku terlalu sering melupakan Tuhan dan terlalu sering mengingat ciptaan Tuhan. ya allah, berilah kenikmatan dalam mendidik di jiwa ku. amin.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana
08 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148

Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   753

Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   727

Lupa Membersihkan Kaca
11 Februari 2025   Oleh : Imam Ghozali   653

Memadukan Dua Kutub Yang Berbeda
09 Oktober 2024   Oleh : Imam Ghozali   748

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120