
Setelah makan malam-nasi kotak dari Mas Edi
Purnomo dan dosen muda berbakat, Tuti Nuriyati dan Reski Lestari-saya nongkrong
di dekat dosen-dosen Pendidikan Bahasa Arab [PBA]. Kajur Tarbiyah, Wan Fariq terlihat
semakin langsing. Ia ikut nirakati persiapan akreditasi PBA. Saya pun
ikut-ikut tirakat “melekan”. Membantu yang tidak berat-berat, seperti
membantu menghabiskan “gorengan tempe dan pisang” dan kopi.
Sambil minum kopi, saya teringat seorang
guru perempuan dari palestina. Ia berdiri di reruntuhan puing-puing rumah,
hotel, dan gedung-gedung sekolah. Asap mesiu masih belum hilang. Tangisan bayi
karena luka. Anak-anak dan remaja sudah tidak menangis. Air mata nya kering. Mereka
harus tegar berdiri dalam penderitaan. mereka tidak perlu berfikir fasilitas
sekolah, buku, pensil dan Gedung sekolah. Semua tidak penting. mereka telah
menemukan harta yang sangat berharga, yaitu jiwa masih berada di badan. Itu modal
utama. Itu yang menjadi semangat untuk bangkit mewujudkan kemerdekaan masa
depan palestina. Tidak peduli kapan itu terwujud. Tapi jiwa yang paling dalam
yakin, janji Tuhan pasti akan datang. Kegelapan akan hilang, dan cahaya kemerdekaan
akan segera datang.
Demikian ucapan-ucapan seorang guru perempuan
Palestina bernama Asma Mustafa. Ia mendedikasikan dirinya sebagai guru di
hamparan kota yang hancur laksana kota mati di Gaza. Baginya pendidikan merupakan long
life education. Ia tidak terikat di sebuah gedung. Alam semesta ini merupakan
media belajar dan sekaligus bahan ajar yang sangat kaya. Ia memperkenalkan edukasi
yang menyenangkan di kondisi yang serba susah. Ia bisa menciptakan kegembiraan,
ada canda-tawa anak-anak kecil yang kehilangan rumah dan orang tuanya. Ia mampu
menciptakan optimisme dalam keterbatasan.
“Masyarakat Palestina berhak memimpin dunia
pendidikan,” kata Mustafa menjelaskan visinya. Kalimat pendek, tapi
menggetarkan jiwa. Ia tidak peduli seperti apa bangsa dan negara palestina saat
sekarang ini. Ia tidak tertarik diskusi rumit tentang fasilitas pendidikan. Diskusi
hanya menghabiskan energi. Pohon persoalan yang komplek di Palestina sudah dipangkas.
Hanya satu akar persoalan di Palestina, yaitu pendidikan. Maka, ia menghabiskan
waktu muda nya menghidupkan obor-obor peradaban di tengah-tengah deru mesiu dan
kepulan asap gedung dan ban-ban mobil di jalan-jalan.
Saya kadang berfikir dan berkata dalam
hati: “Terbuat dari apa jiwa Asma Mustafa”. Ia semangat mendidik dengan segala
keterbatasan fasilitas. Sekali lagi dengan segala keterbatasan fasilitas. Gedung
nya adalah tenda-tenda lusuh dan alam semesta ini. Atap nya langit, dan
lantainya bumi. Serta AC ruangan adalah angin yang sudah tidak terasa oksigen
lagi. Angin yang terasa panas di dada akibat kondisi wilayah Gaza berisi
bangkai mobil, bangunan dan mayat manusia.
Asma Mustafa mengajar full time. Tidak ada
hari libur, tanggal merah dan hari-hari kejepit. Semua kalender baginya warna
hijau. Tidak ada tanggal muda dan tanggal tua. Semua tanggal terasa tua. Tapi semangatnya
membara berjiwa muda.
Asma Mustafa tidak mengenal kata pensiun. Baginya
kata pensiun saat berjumpa dengan Allah. Ia baru bisa istirahat dan libur panjang
saat telah meninggal dunia. Hidup yang sebentar sangat berharga sekali. ia mewakafkan
seluruh hidupnya untuk anak-anak palestina. Bukan hanya waktunya, tapi juga
jiwa, raga dan hartanya.
Saya merenung memikirkan dedikasinya. Sangat
luarbiasa. energinya full dan tidak pernah merasa sedih dengan segala keterbatasan.
Ia sangat semangat mendidik dan selalu riang gembira.
Apakah asma Mustafa merupakan wujud dari
watak asli masyarakat palestina yang daerah tersebut sering disebut sebagai “kota
yang diberkati?”. Bisa jadi demikian. Asma Mustafa dan asma-asma lainnya telah
diberkati bukan pada limpahan harta, tapi pada limpahan ketulusan yang
luarbiasa dipersembahkan kepada Allah SWT. ia telah mengenal hakikat hidup di
tengah-tengah keterbatasan. Ia telah menikmati profesi sebagai pendidik di
tengah-tengah kehidupan yang sangat sulit mendapatkan segelas air minum.
Kenapa saya tidak mendapatkan rasa ladzat
dalam mendidik generasi-generasi muda. Jangan-jangan saya belum mendapatkan
diri sebagai manusia yang diberkati oleh Allah. Mungkin hati ku terlalu sering melupakan Tuhan
dan terlalu sering mengingat ciptaan Tuhan. ya allah, berilah kenikmatan dalam
mendidik di jiwa ku. amin.
Penulis : Vijianfaiz,PhD
Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana
08 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148
Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   753
Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   727
Lupa Membersihkan Kaca
11 Februari 2025   Oleh : Imam Ghozali   653
Memadukan Dua Kutub Yang Berbeda
09 Oktober 2024   Oleh : Imam Ghozali   748
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120