Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana



Sabtu , 08 November 2025



Telah dibaca :  147

Sangat mengagetkan. Ada ledakan bom di Jakarta. Kejadiannya bukan di mall atau fasilitas umum, tapi di lembaga pendidikan. Tepatnya di SMAN 72 Jakarta Utara (7 November 2025).

Dari berbagai informasi dari media online seperti viva.co.id dan antaranews.com menyebutkan bahwa pelakunya siswa akibat mendapatkan perundungan atau bullying oleh teman-temannya (https://www.antaranews.com/, n.d.).

Informasi lain, polisi telah mengangkap terduga pelaku berasal dari siswa dan bukan dari masyarakat setempat (https://daerah.sindonews.com, n.d.). Berkaitan korban, ada sekitar 54 orang (https://www.kompas.id, n.d.).

Peristiwa ini mengingatkan ku pada peristiwa beberapa tahun lalu. Pada tahun 2000 ada peledakan bom di gereja di 13 kota besar di Indonesia, pada tahun 2002 ada bom bali menewaskan sekitar 202 orang, Bom JW Mariot pada tahun 2003 menewaskan 14 orang dan 156 luka-luka,bom bali 2 pada tahun 2005 menewaskan 23 orang, bom JW Mariot dan Ritz Cariton tahun 2009, bom di Jl. Tamrin menewaskan 8 orang dan 26 orang luka-luka pada tahun 2016, separatis papua pada tahun 2021 (https://nasional.kompas.com, n.d.). Dari berbagai peristiwa tersebut mempunyai motif sangat jelas berkaitan ideologi agama dan menuntut keadilan pemerintah pusat.

Kejadian meledak bom Molotov di SMAN 72 masih simpang siur motif yang sebenarnya, apakah kejadian tersebut bagian dari kekosongan jiwa siswa yang merupakan dampak kemajuan teknologi informasi era digital, atau kesepian batin, atau perundungan oleh teman-teman nya atau juga bagian dari idealisme akan nilai-nilai agama atau idealisme tentang nilai-nilai kebenaran, keadilan yang tidak ditemukan dalam kehidupan dirinya atau kehidupan yang lebih besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua variabel tersebut sangat memungkinkan terjadi saat sekarang ini di masyarakat yang sedang mengalami kegelisahan untuk mendapatkan suatu kedamaian hakiki.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup bersama dengan manusia lain dan mempunyai beragam kejadian yang menimbulkan suka dan tidak suka, senang dan benci, puas dan tidak buas. Respon pun beragam. Ketika merasa senang, atau puas terhadap segala yang ada disekitarnya, maka akan melahirkan suatu ketenangan dan menumbuhkan pola hidup tenang dan damai. Sebaliknya ketika bertentangan dengan dirinya, akan menimbulkan beragam perilaku sebagai respon dari ketidakcocokan dengan segala kejadian tersebut.

Kenapa orang tidak suka terhadap teman, sekolah, organisasi, bahkan terhadap sistem negara. Karena ia menganggap apa yang dilihat oleh nya bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran versi dirinya. Ia melihat bahwa sistem kehidupan yang ada disekitarnya, yang mengatur dirinya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan harus dilakukan perubahan-perubahan.

Pola dalam melakukan perubahan-perubahan macam-macam baik dengan berdiam diri atau melakukan aksi-aksi mulai dengan cara yang masih bisa dikompromi atau juga tidak perlu lagi kompromi. Perilaku aksi yang tidak kompromi bisa melakukan aksi yang terjadi saat sekarang ini seperti pengrusakan fasilitas umum, peledakan bom pada tempat-tempat yang telah menjadi targetnya, dan sampai pada titik tertentu melakukan kudeta sebagai usaha mencapai tujuan politiknya.

Era informasi yang bebas di era digital sekarang ini memungkinkan aksi-aksi sebagaimana yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara. Bahkan kejadian ini bisa saja terjadi dimana saja. Saat ini internet sudah masuk di seluruh wilayah Indonesia tanpa batas. Siapa saja bisa belajar merakit bom, meretas akses-akses internet suatu lembaga dengan cara otodidak. Di ruang sunyi di depan laptop, semua orang bisa melakukan kejahatan apa saja dengan bebas tanpa ada yang mengawasinya.

Era informasi yang sangat maju, namun menyisakan persoalan yang sangat serius yaitu lahirnya manusia kesepian dan jiwa merana akibat mulai terputus komunikasi sosial dengan tatap muka yang dulu sering dilakukan sebelum datang era tersebut.

Ironisnya hal tersebut tidak disadari oleh masyarakat saat sekarang ini. Semua sibuk dengan dirinya sendiri, semua sibuk dengan gadget di tangannya. Ayah, ibu, anak, menantu dan cucu sudah hidup dengan dunia maya dan hilang rasa ikatan batin di antara mereka. Hubungan batin dalam bentuk kumpul-kumpul, ngobrol dan bersendau gurau atau bercerita atau mendongeng tentang kisah-kisah para nabi atau kancil mencuri mentimun sudah mulai musnah. Rumah yang kita bangun dengan sangat indah dan menghabiskan biaya cukup besar sebagai tempat perkumpulan keluarga telah berubah laksana ruang tunggu di stasiun, balai desa, atau kantor pos yang sibuk dengan gadget nya masing-masing. Ikatan batin dan hubungan emosional sudah melemah. Mereka telah mendapatkan jawaban kehidupan melalui alat canggih yang ada di tangannya. Wajar jika hasil dari didikan alat canggih, terjadi fenomena seperti di SMAN 72 Jakarta Utara tersebut di atas.

Walhasil, lembaga pendidikan terkecil seperti keluarga dan lembaga pendidikan lebih besar seperti sekolah dan perguruan tinggi ternyata tidak hanya membutuhkan perangkat teknologi yang super hebat. Ada perangkat yang sangat penting dan tidak boleh ditinggalkan yang perangkat hubungan spiritual, emosial dan sosial dalam dunia nyata dalam upaya membangun nilai-nilai pendidikan yang utuh terhadap anak-anak kita dan peserta didik kita. Sebab bagaimana pun, mereka perlu mendapatkan sentuhan spiritual dan emosional yang tepat. Jika ini dibiarkan, maka mereka akan mengalami kekeringan jiwa dan kehilangan arah hidup yang berdampak pada kerusakan lebih luas dalam beragam dimensi kehidupan.

Bom Molotov menjadi alarm penting untuk meninjau kembali sistem pendidikan yang telah diajarkan oleh orang tua kita dulu yang sangat efektif melahirkan generasi unggul berbasis intelektual dan spiritual.

Apakah kurikulum yang berlaku saat sekarang ini-Kurikulum K13 dan kurikulum Merdeka- masih memperhatikan ketajaman moral dan spiritual di sekolah-sekolah SLTP dan SLTA. Wallahu a’lam. Berbagai peristiwa tersebut di atas dan peristiwa-peristiwa sebelumnya membuat diri ku bertanya-tanya: “Jangan-jangan sistem pendidikan hanya mengejar kecerdasan intelektual dan skill dengan melupakan sisi spiritual dan moral”. Jika ini terjadi maka akan lahir generasi yang bagus ilmu dan keahlian, tapi kering kerontang jiwa-jiwa nya. Ada rintihan sedih, jiwa menangis kebingungan tanpa sandaran yang kuat menghadapi hakikat kehidupan



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Asma Mustafa: Pendidikan Sebagai Ruh Kehidupan
11 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   513

Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   752

Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   726

Lupa Membersihkan Kaca
11 Februari 2025   Oleh : Imam Ghozali   653

Memadukan Dua Kutub Yang Berbeda
09 Oktober 2024   Oleh : Imam Ghozali   748

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120