Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Hakim Syuraih, Baju Besi dan Ijazah



Rabu , 30 Juli 2025



Telah dibaca :  355

Pada tanggal 23 Juli 2025, saya bertemu teman-teman dari berbagai perguruan tinggi membahas peluang-peluang kerjasama luar negeri. Ketemu cukup banyak teman-teman dari berbagai perguruan tinggi. Ada dosen yang sangat humble seperti Mas Baginda dari UIN Bukitinggi, ada Mas Rahman Arifin dari IAIN Curup dan masih banyak lagi. Mereka masih muda-muda. Tapi pikirannya sangat bagus, konstruktif dan solutif. Tujuan sebenarnya sama, yaitu menciptakan perguruan tinggi unggul. Tentu makna nya luas, bukan sebatas formalitas dengan dibuktikan ijazah dari prodi dan institusi unggul, juga terpenting kualitas SDM unggul dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Sebagian masyarakat Indonesia kelihatannya masih demam ijazah. Bahkan hingga kini isu yang masih trending soal ijazah Jokowi. Gara-gara satu ijazah Jokowi, masyarakat terbelah: fanatik Jokowi, pembenci Jokowi, dan tidak fanatik, juga tidak benci Jokowi. Semua punya alasannya.

Saya secara pribadi orang yang sedang belajar tidak fanatik kepada para pemimpin, kepala negara atau pun para tokoh politik. Alasannya sederhana, kemampuan ku melihat mereka secara utuh belum mampu. Ma’lum wong cilik. Ilmu pun masih sedikit. Itu sebabnya kehadiran para pemimpin negara, partai politik atau apa saja sebagai media belajar untuk mengambil kebaikan dan mengubur hal-hal yang tidak baik.

Sampai detik ini saya tidak pernah ikut kegaduhan persoalan ijazah Jokowi. Sederhana saja. Pertama, saya bukan Hakim, Polisi dan Jaksa. Jadi tidak ada otoritas untuk menilai ijazah tersebut asli, palsu atau aspal-asli tapi palsu. Kedua, saya berpandangan bahwa jika saya ikut terbawa arus bahwa ijazah Jokowi asli, berarti sudah jatuh pada penyakit su’udzan -berburuk sangka -kepada nya. Ketiga, persoalan isu ijazah palsu bagiku lebih bersifat politis daripada akademis. Meskipun dengan balutan narasi atas nama filsafat, kajian ilmiah dan tetek bengek, tetap ujung-ujungnya lari ke produk politik tertentu. Karena produk politik, saya tidak tahu siapa yang menabur anginya, dan siapa yang mendapatkan badainya. Keempat, saya belajar untuk tidak mengurusi terlalu dalam hal-hal yang belum pasti terjadi terhadap pribadi seseorang. Ma’lum lah, urusan ku terlalu banyak jadi tidak sempat mengurusi orang lain. Kelima, saya belajar untuk tidak mempunyai rasa benci kepada siapapun, termasuk kepada orang yang membenci ku. tentu referensi nya dari orang tua ku -terutama  ayah ku semasa hidupnya - sering mendapatkan fitnah dan caci maki dari orang-orang yang tidak menyukainya. Ayah ku tetap tenang. Seperti tidak ada kejadian sama sekali. rutinitas berjalan seperti biasa, pagi hingga sore -kadang malam juga -menerima tamu dari berbagai daerah atau tetangga sendiri, malam hari sholat tahajud, membaca sholawat dan kadang minta dibuatkan nasi goreng ke ibu ku.

Ketidak ikutan saya dalam kegaduhan ijazah Jokowi karena belajar dari sejarah. Dalam Kitab Hilyatul Awliyah diceritakan tentang Ali bin Abi Thalib kalah di persidangan oleh orang Yahudi. Hakim nya Syuraih. Sang hakim percaya 100 persen apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib benar adanya. Bahkan jika di datangkan 100 orang untuk menjadi saksi kejujuran Ali bin Abi Thalib, Semua akan mengatakan kejujurannya.

Hakim Syuraih mendasarkan bukan pada kejujuran Ali bin Abi Thalib, tapi pada fakta persidangan. Ali menghadirkan dua orang saksi Qanbar dan Hasan yang masih anak-anak. Hakim Syuraih menerima persaksian Qanbar, tapi tidak menerima hasan karena ia masih anak-anak, jadi tidak diterima. Sebab syarat saksi harus baligh dan berakal. Sedangkan hasan masih anak-anak.

Ali tetap ngotot dengan membacakan Hadist Nabi bahwa Hasan dan Husain adalah Ahli Surga. Menurut Ali sangat ironis sekali persaksian Ahli Surga tidak bisa diterima.

Hakim Syuraih tetap ngotot. Dalam persidangan bukan status seseorang yang menjadi acuan, tetapi persyaratan-persyaratan hukum yang menentukan benar atau tidaknya persaksian tersebut.

Ali menerima keputusan pengadilan. Ia tahu, bahwa fakta persidangan tidak bisa menghadirkan dua orang saksi yang dipersyaratakan oleh syariat. Meskipun kesaksian keduanya akan membela nya, tapi pembelaan saksi di bawah umur belum bisa diterima dalam syariat Islam. Akhirnya Baju Besi tetap milik orang Yahudi.

Proses persidangan Ijazah Jokowi terus berjalan. Akan ada putusan pengadilan apakah ijazah itu asli atau palsu. Saya tidak tahu, apakah hasil keputusan pengadilan bisa diterima oleh semua pihak sebagaimana keputusan pengadilan hakim Syuraih terhadap Baju Besi Ali bin Abi Thalib, atau sebaliknya muncul gejolak baru dari keputusan pengadilan. Semua serba mungkin.

Jika kasus tersebut murni persoalan hukum, keputusan pengadilan tidak menimbulkan gejolak yang besar. Bisa tutup buku. Namun jika persoalan ijazah karena lahir dari kusak-kusuk politik, bisa ditebak akan terus melebar hingga pada pilpres 2029.

Siapa yang untung? Tentu saja tokoh yang bisa mengemas kasus tersebut sebagai panggung politik. Pasca reformasi telah memberi pembelajaran bahwa para tokoh politik sukses mencuri simpati masyarakat yang akan menjadi pemimpin negara ini. Apakah benar. Mari kita saksikan bersama-sama.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Pahlawan ku, Pahlawan mu, dan Pahlawan Kita
10 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   145

Pahlawan Administrasi dan Pahlawan Sanubari
09 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148

Kades Hoho, Warga Nya Hahaha
04 Agustus 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   490

Hak Prerogatif
02 Agustus 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   447

Makna Suara Rakyat Suara Tuhan
02 Agustus 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   447

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10391


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3200


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120