Avatar

Imam Ghozali

Penulis Kolom

823 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Lebaran Ketupat dan Arti Sebuah Kesempurnaan



Sabtu , 20 April 2024



Telah dibaca :  646

 

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ.اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

“Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”.

Beberapa hari lalu, guru besar STAIN Bengkalis, Prof.Dr.Samsul Nizar, M.Ag telah menulis artikel berjudul”Ketupat; Makna Simpul Daun Kelapa”. Tulisan singkat menyajikan sejarah ketupat dan filosofis yang terkandung di dalamnya. Penulis mendapatkan pelajaran hidup telah membuka tabir bahwa orang tua kita dulu atau generasi masa lalu  telah membangun konektivitas budaya yang luhur dan telah memperkenalkan ajaran kehidupan sangat natural dan langsung mengena dan menyatu pada budaya-budaya dimana mereka tinggal. Meskipun secara geografis, budaya tersebut hanya untuk satu etnis tertentu, tetapi karena budaya tersebut mengandung nilai-nilai kebaikan universal, ia bisa diterima lintas suku dan bisa menjadi pegangan hidup dalam kehidupan baik berkaitan dengan hubungan dengan Sang Pencipta atau hubungan dengan sesama manusia. Jadi, karya orang tua yang arif atau sering disebut dengan para waliyulloh yang mukasyafah mata batinnya, telah melahirkan budaya yang tidak hanya sebagai identitas tertentu, juga ia sebagai jalan merambah komunikasi lebih intens dengan Allah swt. Itulah hakikat dari makna kesempurnaan yang saya pahami dari tulisan Prof Samsul tersebut.

Apakah suatu kesempurnaan tidak ada cela sedikitpun. Apakah kesempurnaan juga menjamin dari kebahagiaan seseorang ketika mendapatkan nya dalam kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diuji dan dibatasi oleh data-data lebih spesifik untuk menjawab kedua pertanyaan. Meskipun demikian, data-data yang disuguhkan untuk menghasilkan suatu jawaban yang akurat, tidak serta merta jawaban tersebut mewakili dari seluruh populasi dengan kasus yang sama. Sebab persoalan tersebut berkaitan dengan dinamika kehidupan manusia yang senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan seperti perubahan cuaca. Bisa diprediksi, tapi tidak bisa ditentukan. Kesimpulan tetap masih bersifat sementara.

Beberapa waktu lalu, penulis membaca berita di facebook tentang kehidupan keluarga pesepakbola terkenal asal Brazil. Namanya Ricardo Kaka. Ia mempunyai seorang istri Caroline Calico. Menurutnya, Kaka adalah seorang suami yang sangat sempurna. Katanya tentang Kaka sebagai berikut, “Kaka tidak pernah menghianatiku, dia selalu memperlakukanku dengan baik, dia memberiku keluarga yang luarbiasa, tapi aku tidak bahagia, ada sesuatu yang hilang. Masalahnya, dia terlalu sempurna untukku”. Justru karena kesempurnaan Ricardo Kaka, dia mengakhiri kehidupan rumah tangga nya. Kesempurnaan keluarga menyebabkan perceraian.

Penulis membaca kisah keluarga di atas terlihat unik. Berbeda dengan kasus keluarga di berbagai negara atau masyarakat sekitar kita. Biasanya, persoalan percerian sering terjadi akibat adanya KDRT, perselingkuhan dan ada persoalan terjadi di antara kedua pasangannya. Islam juga menjelaskan hal tersebut. bahkan juga Islam mengatur cara thalaq. Penyebab thalaq dalam Islam juga berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas. Semua terjadi, karena tidak ada kecocokan dan tidak ada keharmonisan hubungan suami-istri. Penulis berdialog dengan beberapa hakim pengadilan agama dari berbagai wilayah mengatakan bahwa klaster terbesar penyebab perceraian seputar persoalan ekonomi dan perselingkuhan baik dilakukan oleh suami atau istri atau keduanya.

Penulis melihat bahwa fenomena rumah tangga pada kasus Kaka dan Caroline merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Sang mantan istri secara terbuka mengatakan bahwa kehidupan rumah tangga dengan Kaka hampir tidak ada cacat sama sekali. Bahkan ia mengatakan terlalu sempurna bagi dirinya. Justru persoalan tersebut menyebabkan dirinya tidak mendapatkan suatu kebahagiaan sejati. Caroline dengan sedih harus menyatakan diri berpisah dengan nya. Perceraian sangat menyedihkan, tapi itu adalah pilihan terbaik baginya.

Penulis melihat bahwa kata sempurna dalam kehidupan tidak berbanding lurus pada kesempurnaan manusia secara totalitas. Ada ruang-ruang yang tidak bisa dibeli oleh dirinya dengan kekayaan dan jabatan. Penulis teringat kisah dari Alexander Onassis seorang anak miliader dari AS. Ia meninggal dalam keadaan tragis. Kehidupan keluarganya yang sangat sempurna ternyata telah menyebabkan hatinya merana laksana padang pasir yang tidak pernah terkena hujan sepanjang tahun. Hatinya laksana berisi angin topan dan badai gurun yang sangat menyakiti mata dan menyesakan hati. Mobil Ferarri dan Kapal Pesiar, Istana di pulau yang telah dibelinya. Semua itu tidak mampu mengobati kegundahan hati.

Fenomena tersebut menunjukan bahwa hakikat kesempurnaan tidak terletak pada persoalan kesempurnaan harta dan jabatan. Meskipun pada anak-anak muda yang sedang mencari jati diri sering mengatakan dalam guyonan begini, “Memang uang tidak dibawa mati, tapi tidak punya uang rasanya seperti mau mati”. Allah juga memberi peluang kepada manusia untuk mencari uang, harta, jabatan dan istilah-istilah keduniaan lainnya, tapi tidak boleh melupakan perkampungan akherat. Dunia adalah tempat menanam atau bercocok tanam pada dua dimensi sekaligus dunia dan akherat. Setiap muslim harus bisa mengerjakan satu amalan kegiatan yang langsung mengandung kedua unsur tersebut. Pola tersebut merupakan jalan untuk menemukan suatu kesempurnaan hidup. Sebab ketika hidup di dunia, kesempurnaan hanya dapat diraih ketika kedua unsur itu ada. Dan kesempurnaan sebenarnya bukan pada hasil, tapi proses. Islam melihat atau mengukur kehebatan manusia bukan pada hasil nya seperti jabatan, pangkat, harta kekayaan. Sebab jika dilihat dari hasil, belum tentu ia diraih dengan cara-cara yang benar. Kita bisa melihat berbagai berita di dunia maya, internet dan lain-lain, telah memberitakan hal tersebut dengan sangat terbuka.

Karena Islam melihat proses, maka Allah mengajarkan suatu doa sebagai berikut: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ.اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (“Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”). Ayat ini membuka mata kita, bahwa hati dan akal kita terkoneksi dengan Sang Pencipta. Ketika Allah memberikan ajaran, maka akal dan pikiran serta hati tidak boleh dibiarkan liar memikirkan dunia ini secara bebas. Komponen tersebut ketika dibiarkan, maka ia akan mencari secara bebas tanpa adanya arahan yang jelas. Akibatnya, ia akan menemukan unsur-unsur fatamorgana, terlihat baik. Tapi  hakikatnya sangat membahayakan. Fenomena ini telah terjadi di dunia barat dan timur yang telah mendewa-dewakan kehebatan dunia semata dan sebagian umat Islam di negeri ini yang pikiran dan hatinya telah ikut berkiblat cara berfikir orang barat dan timur.

Islam bukan barat dan timur. Islam adalah al-mustaqim. Islam bukan “maghdlûbi” yang segala kesempurnaan hidupnya dimurkai oleh Allah dengan tetap menyembah-Nya tapi disisi lain senantiasa membelakangi-Nya dalam segala ucapan dan perbuatannya. Islam juga bukan “dlâllîn” yang membangun kehidupannya dengan dasar-dasar kebenaran akal secara mutlak, dan  sangat membenci aturan-aturan Islam. Ia beranggapan bahwa akal pikiran telah mampu menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Padahal, kisah-kisah tersebut di atas telah memberi petunjuk kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hanya mengandalkan akal dan nafsu amarah akan berakhir dengan penderitaan.

Walhasil, lebaran Idul Fitri dengan ditutup dengan lebaran ketupat sebagaimana dalam pembahasan tulisan ini di alinea pertama telah mengajarkan bahwa dimensi kehidupan manusia ada dua yaitu dimensi ruh, dan jasad, dimensi dunia dan akherat. Akal pikiran dan segala kelengkapannya digunakan untuk senantiasa menciptakan kreasi-kreasi positif dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia seperti kemanusiaan, saling kasih sayang, suka memaafkan dan suka menolong kepada sesama manusia. Pada sisi lain, juga akal pikiran juga menjadi jalan untuk semakin mengenal Allah swt sebagai Tuhan Semesta Alam. Sehingga perjalanan hidup manusia tidak hanya melihat kesempurnaan secara parsial, tapi harus melihat secara utuh bahwa kesempurnaan yang diinginkan dalam ajaran Islam adalah senantiasa berbuat terbaik untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran Islam. Jadi, siapapun orangnya mampu menjadi manusia sempurna ketika senantiasa berbuat baik, siapapun orangnya apakah orang kaya atau miskin semua sama dalam mencapai kesempurnaan hidup versi Islam. Wallahu a’lam.



Penulis : Imam Ghozali


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Q.S. Al-Baqarah ayat 28: Iman, Ilmu, Amal dan Angan-Angan
24 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   92

Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Ilmu
24 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    104

Membaca Pikiran Orang Besar dan Orang Kecil
20 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   225

Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Riya
20 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    157

Dalil-dalil tentang Ikhlas, Bekal untuk Kultum
18 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    225

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      5007


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      2212


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      1932


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      1586


Membangun Persatuan dalam Keberagaman
Minggu , 08 Oktober 2023      1484