صِرَاطَ الَّذِيْنَ
اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ.اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ
“Bimbinglah
kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang
yang sesat”.
Beberapa hari lalu, guru besar STAIN
Bengkalis, Prof.Dr.Samsul Nizar, M.Ag telah menulis artikel berjudul”Ketupat;
Makna Simpul Daun Kelapa”. Tulisan singkat menyajikan sejarah ketupat dan
filosofis yang terkandung di dalamnya. Penulis mendapatkan pelajaran hidup telah
membuka tabir bahwa orang tua kita dulu atau generasi masa lalu telah membangun konektivitas budaya yang luhur
dan telah memperkenalkan ajaran kehidupan sangat natural dan langsung mengena dan
menyatu pada budaya-budaya dimana mereka tinggal. Meskipun secara geografis,
budaya tersebut hanya untuk satu etnis tertentu, tetapi karena budaya tersebut
mengandung nilai-nilai kebaikan universal, ia bisa diterima lintas suku dan
bisa menjadi pegangan hidup dalam kehidupan baik berkaitan dengan hubungan
dengan Sang Pencipta atau hubungan dengan sesama manusia. Jadi, karya orang tua
yang arif atau sering disebut dengan para waliyulloh yang mukasyafah mata
batinnya, telah melahirkan budaya yang tidak hanya sebagai identitas tertentu,
juga ia sebagai jalan merambah komunikasi lebih intens dengan Allah swt. Itulah
hakikat dari makna kesempurnaan yang saya pahami dari tulisan Prof Samsul tersebut.
Apakah suatu kesempurnaan tidak ada
cela sedikitpun. Apakah kesempurnaan juga menjamin dari kebahagiaan seseorang
ketika mendapatkan nya dalam kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diuji
dan dibatasi oleh data-data lebih spesifik untuk menjawab kedua pertanyaan.
Meskipun demikian, data-data yang disuguhkan untuk menghasilkan suatu jawaban
yang akurat, tidak serta merta jawaban tersebut mewakili dari seluruh populasi
dengan kasus yang sama. Sebab persoalan tersebut berkaitan dengan dinamika
kehidupan manusia yang senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan seperti
perubahan cuaca. Bisa diprediksi, tapi tidak bisa ditentukan. Kesimpulan tetap
masih bersifat sementara.
Beberapa waktu lalu, penulis membaca
berita di facebook tentang kehidupan keluarga pesepakbola terkenal asal Brazil.
Namanya Ricardo Kaka. Ia mempunyai seorang istri Caroline Calico. Menurutnya, Kaka
adalah seorang suami yang sangat sempurna. Katanya tentang Kaka sebagai
berikut, “Kaka tidak pernah menghianatiku, dia selalu memperlakukanku dengan
baik, dia memberiku keluarga yang luarbiasa, tapi aku tidak bahagia, ada
sesuatu yang hilang. Masalahnya, dia terlalu sempurna untukku”. Justru karena kesempurnaan Ricardo Kaka, dia mengakhiri kehidupan rumah tangga nya. Kesempurnaan keluarga menyebabkan perceraian.
Penulis membaca kisah keluarga di
atas terlihat unik. Berbeda dengan kasus keluarga di berbagai negara atau
masyarakat sekitar kita. Biasanya, persoalan percerian sering terjadi akibat
adanya KDRT, perselingkuhan dan ada persoalan terjadi di antara kedua
pasangannya. Islam juga menjelaskan hal tersebut. bahkan juga Islam mengatur
cara thalaq. Penyebab thalaq dalam Islam juga berkaitan dengan hal-hal tersebut
di atas. Semua terjadi, karena tidak ada kecocokan dan tidak ada keharmonisan
hubungan suami-istri. Penulis berdialog dengan beberapa hakim pengadilan agama
dari berbagai wilayah mengatakan bahwa klaster terbesar penyebab perceraian seputar
persoalan ekonomi dan perselingkuhan baik dilakukan oleh suami atau istri atau
keduanya.
Penulis melihat bahwa fenomena rumah
tangga pada kasus Kaka dan Caroline merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Sang
mantan istri secara terbuka mengatakan bahwa kehidupan rumah tangga dengan Kaka
hampir tidak ada cacat sama sekali. Bahkan ia mengatakan terlalu sempurna bagi
dirinya. Justru persoalan tersebut menyebabkan dirinya tidak mendapatkan suatu
kebahagiaan sejati. Caroline dengan sedih harus menyatakan diri berpisah dengan
nya. Perceraian sangat menyedihkan, tapi itu adalah pilihan terbaik baginya.
Penulis melihat bahwa kata sempurna
dalam kehidupan tidak berbanding lurus pada kesempurnaan manusia secara
totalitas. Ada ruang-ruang yang tidak bisa dibeli oleh dirinya dengan kekayaan
dan jabatan. Penulis teringat kisah dari Alexander Onassis seorang anak
miliader dari AS. Ia meninggal dalam keadaan tragis. Kehidupan keluarganya yang
sangat sempurna ternyata telah menyebabkan hatinya merana laksana padang pasir
yang tidak pernah terkena hujan sepanjang tahun. Hatinya laksana berisi angin topan
dan badai gurun yang sangat menyakiti mata dan menyesakan hati. Mobil Ferarri dan
Kapal Pesiar, Istana di pulau yang telah dibelinya. Semua itu tidak mampu mengobati
kegundahan hati.
Fenomena tersebut menunjukan bahwa
hakikat kesempurnaan tidak terletak pada persoalan kesempurnaan harta dan
jabatan. Meskipun pada anak-anak muda yang sedang mencari jati diri sering
mengatakan dalam guyonan begini, “Memang uang tidak dibawa mati, tapi tidak
punya uang rasanya seperti mau mati”. Allah juga memberi peluang kepada
manusia untuk mencari uang, harta, jabatan dan istilah-istilah keduniaan
lainnya, tapi tidak boleh melupakan perkampungan akherat. Dunia adalah tempat
menanam atau bercocok tanam pada dua dimensi sekaligus dunia dan akherat. Setiap
muslim harus bisa mengerjakan satu amalan kegiatan yang langsung mengandung
kedua unsur tersebut. Pola tersebut merupakan jalan untuk menemukan suatu
kesempurnaan hidup. Sebab ketika hidup di dunia, kesempurnaan hanya dapat
diraih ketika kedua unsur itu ada. Dan kesempurnaan sebenarnya bukan pada
hasil, tapi proses. Islam melihat atau mengukur kehebatan manusia bukan pada
hasil nya seperti jabatan, pangkat, harta kekayaan. Sebab jika dilihat dari
hasil, belum tentu ia diraih dengan cara-cara yang benar. Kita bisa melihat
berbagai berita di dunia maya, internet dan lain-lain, telah memberitakan hal
tersebut dengan sangat terbuka.
Karena Islam melihat proses, maka Allah
mengajarkan suatu doa sebagai berikut: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ.اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (“Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”). Ayat ini membuka mata kita,
bahwa hati dan akal kita terkoneksi dengan Sang Pencipta. Ketika Allah memberikan
ajaran, maka akal dan pikiran serta hati tidak boleh dibiarkan liar memikirkan
dunia ini secara bebas. Komponen tersebut ketika dibiarkan, maka ia akan
mencari secara bebas tanpa adanya arahan yang jelas. Akibatnya, ia akan
menemukan unsur-unsur fatamorgana, terlihat baik. Tapi hakikatnya sangat membahayakan. Fenomena ini
telah terjadi di dunia barat dan timur yang telah mendewa-dewakan kehebatan dunia
semata dan sebagian umat Islam di negeri ini yang pikiran dan hatinya telah
ikut berkiblat cara berfikir orang barat dan timur.
Islam bukan barat dan timur. Islam adalah
al-mustaqim. Islam bukan “maghdlûbi” yang segala kesempurnaan
hidupnya dimurkai oleh Allah dengan tetap menyembah-Nya tapi disisi lain senantiasa
membelakangi-Nya dalam segala ucapan dan perbuatannya. Islam juga bukan “dlâllîn”
yang membangun kehidupannya dengan dasar-dasar kebenaran akal secara mutlak, dan sangat membenci aturan-aturan Islam. Ia beranggapan
bahwa akal pikiran telah mampu menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Padahal,
kisah-kisah tersebut di atas telah memberi petunjuk kepada kita, bahwa
kebahagiaan yang hanya mengandalkan akal dan nafsu amarah akan berakhir dengan
penderitaan.
Walhasil, lebaran Idul Fitri dengan ditutup dengan lebaran ketupat
sebagaimana dalam pembahasan tulisan ini di alinea pertama telah mengajarkan
bahwa dimensi kehidupan manusia ada dua yaitu dimensi ruh, dan jasad, dimensi
dunia dan akherat. Akal pikiran dan segala kelengkapannya digunakan untuk
senantiasa menciptakan kreasi-kreasi positif dengan tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia seperti kemanusiaan, saling
kasih sayang, suka memaafkan dan suka menolong kepada sesama manusia. Pada sisi
lain, juga akal pikiran juga menjadi jalan untuk semakin mengenal Allah swt
sebagai Tuhan Semesta Alam. Sehingga perjalanan hidup manusia tidak hanya
melihat kesempurnaan secara parsial, tapi harus melihat secara utuh bahwa
kesempurnaan yang diinginkan dalam ajaran Islam adalah senantiasa berbuat
terbaik untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan berpegang teguh
terhadap ajaran-ajaran Islam. Jadi, siapapun orangnya mampu menjadi manusia
sempurna ketika senantiasa berbuat baik, siapapun orangnya apakah orang kaya atau
miskin semua sama dalam mencapai kesempurnaan hidup versi Islam. Wallahu a’lam.
Penulis : Imam Ghozali
Q.S. Al-Baqarah ayat 28: Iman, Ilmu, Amal dan Angan-Angan
24 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   92
Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Ilmu
24 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    104
Membaca Pikiran Orang Besar dan Orang Kecil
20 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   225
Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Riya
20 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    157
Dalil-dalil tentang Ikhlas, Bekal untuk Kultum
18 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    225
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      5007
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      2212
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      1932
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      1586
Membangun Persatuan dalam Keberagaman
Minggu , 08 Oktober 2023      1484