
Saya lupa judul film pendek tadi malam. Sebenarnya
biasa saja ceritanya. Tentang kisah mahasiswa dari keluarga miskin yang
mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Ia sebenarnya anak yang pandai. Namun ada
gangguan penglihatan. Jika ia melihat tulisan, seolah-olah tulisan menari-nari.
Alur cerita nya hampir sama dengan Film India, Taare Zameen Par. Film yang
mengisahkan seorang anak SD bernama Ishaan Awasthi yang kesulitan menganal
angka dan huruf. Melalui guru muda yang sabar, ia kemudian bisa menjadi pelukis
yang hebat.
Pada film yang tadi malam saya tonton,
kasus nya sama, angka dan huruf menari-nari. Ia senantiasa dilecehkan oleh
teman-teman nya yang cerdas dan selalu juara di setiap semester. Dosen dan
teman-temannya tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya. Ia bingung
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Hinaan dan cacian mereka menyebabkan ia
bertambah menutup diri. Apalagi saat ia terkena skors tidak bisa tidur
di asrama selama satu minggu karena melanggar
aturan, ia pun terpaksa tidur di emper toko.
Seorang bapak penjaga asrama melihatnya
saat keliling di malam hari. Ada perasaan sedih dan kasihan. Akhirnya, ia
dibangunkan dan disuruh menginap di ruang pos keamanan tempat ia kerja. Mungkin
karena ada kesamaan persoalan hidup, mahasiswa tersebut membuka diri
menceritakan berbagai persoalan. Salah satunya yaitu kesulitan melihat angka
dan huruf.
Ada kalimat yang sangat indah saat mahasiswa tersebut putus asa dan hampir saja drop out. Penjaga asrama menyampaikan kalimat nya kurang lebih begini: “Bukan seberapa pintar anda untuk sukses, tetapi seberapa besar perjuangan anda untuk meraih sukes”. Kalimat tersebut juga dikatakan oleh ibu nya yang sudah tua dan tinggal di rumah sederhana. Awalnya tidak percaya terhadap kekuatan kalimat tersebut. sang penjaga asrama tersebut menyakinkan, bahwa kesuksesan diraih kerja keras bukan sebatas kecerdasan.

Beruntung penjaga asrama tersebut adalah
seorang ilmuwan. Tapi semua orang di asrama kampus tidak mengenalnya. Ia dulu
adalah ahli matematika yang keahliannya memberi sumbangsih untuk peradaban
negaranya. Hanya saja, suatu saat penemuannya digunakan untuk kepentingan
pembuatan alat perang yang digunakan untuk membunuh manusia. Akhirnya ia
berhenti dari pekerjaan dan melarikan diri dari negaranya. Untuk menjamin
kelangsungan hidupnya, ia menjadi security kampus.
Film ini ditutup dengan happy end. Mahasiswa
yang hampir drop out mendapat pelatihan gratis dari ilmuwan tersebut. Angka
dan huruf yang menari-nari bisa diatasi dengan memvisualisasikan bunyi-bunyi
piano. Situasi menjadi normal. Akhirnya ia mampu menjadi pemenang matematika di
kelasnya.
Paparan kisah tersebut hanya sebatas film hasil imajinasi sang sutradara dan penulis naskah. Hayalan semata. Tapi nilai-nilai yang terkandung di dalam nya adalah kenyataan di alam nyata. Manusia sering mudah menjustifikasi dengan tarian-tarian akal pikirannya. Seolah-olah dirinya sempurna dan melihat orang lain serba salah dan kekurangan. Kelebihan yang Allah anugerahkan pada dirinya justru terkadang menjadi bumerang yang menyebabkan dirinya terpenjara oleh keangkuhan jiwa. Seolah-olah hidup itu sudah digariskan dengan “tali mati”. Jika pintar tetap pintar, bodoh tetap bodoh. Darah biru tetap darah biru, darah merah tidak bisa berubah menjadi darah biru. Kenangan kejayaan masa lalu, telah membutakan hati dan membuat pikiran menjadi “ketul” untuk melihat apa yang dimaknai sebuah proses kehidupan.

Mungkin karena akal pikiran kita melihat
standar kesempurnaan hidup pada hal-hal yang biasa-biasa saja. Sekolah yang
hebat jika anak didiknya cerdas-cerdas. Mereka anak-anak pilihan hasil “sortiran”
dari ratusan anak-anak. IQ nya di atas rata-rata. Setiap hari mereka ikut lest pelajaran
ini dan itu. Maka saat guru masuk di lokal yang demikian, tidak perlu banyak
bicara dan menerangkan. Cukup diberi soal, maka semua bisa menyelesaikan nya
dengan baik. Guru hanya sebatas pengawas ujian nasional, bukan sebagai penuntun
kebajikan, kebaikan serta keagungan.
Manusia pada umum nya kesulitan melihat
bahwa anak yang suka panjat pohon, tidak tenang di lokal, suka bermain, dan banyak
omong merupakan gambaran anak-anak “madesu” [masa depan suram]. Para pendidik
melihat kondisi kelas seperti itu terkadang terlalu cepat mengibarkan bendera “kain
putih” dan menyerah tanpa syarat. Mereka
menderita oleh peserta didik yang demikian. Kehadiranya benar-benar menjadi
beban dan menambah beban para pendidik. Pada akhirnya, peserta didik yang
demikian ditinggalkan tanpa mendapat perhatian serius.
Dunia ini sebenarnya adalah hamparan
sekolah kehidupan yang maha luas. Allah telah menjadikan manusia sebagai
khalifah mempunyai tugas untuk menebarkan peradaban yang agung. Persoalan sekarang,
bukan seberapa tinggi dan mulia manusia di tengah-tengah masyarakat atas status
yang disandang atas nama sebagai dosen, ulama, pejabat, dan tokoh masyarakat. Semua
menjadi tidak bernilai sama sekali saat pada diri mereka masih ada kebencian
yang berkarat saat melihat orang-orang belum mengenal kebaikan.
Manusia harus melatih diri agar mengenal
diri sendiri. Saat ia belum menjadi apa dan siapa, ia juga dulu bukan apa-apa
dan bukan siapa-siapa. Perjalanan manusia tidak selalu berjalan mulus. Tidak ada
yang bersih. Hampir selalu melakukan kesalahan dan banyak dosa. Itu wajar-wajar
saja agar proses kehidupan menjadi bermakna. Tugas manusia sebenarnya
menebarkan kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sang Maha Kuasa
dengan status-nya “rabbul ‘alamiin”.
Kenapa sekarang manusia semakin gersang. Kenapa
saat sekarang ini dunia seolah-olah lebih trend perilaku dengan suka membuka aib orang, mencaci maki,
dan “ngetrek-ngetrek” borok nya dengan tanpa beban. Kenapa manusia
seolah-olah menjadi lebih garang dari Sang Pencipta. Bahkan kewenangan Tuhan
pun semakin kesini semakin diambil oleh manusia. Itu mungkin jenis manusia yang
telah lupa “ngelap” kaca spion dirinya sendiri.
Penulis : Imam Ghozali
???? Ticket; Process 0,75527660 BTC. Go to withdra
xlvu1e
Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana
08 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148
Asma Mustafa: Pendidikan Sebagai Ruh Kehidupan
11 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   514
Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   753
Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   727
Memadukan Dua Kutub Yang Berbeda
09 Oktober 2024   Oleh : Imam Ghozali   749
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120