
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan
sebelumnya; santri, mahasiswa dan etos kerja. Pada tulisan tersebut
menceritakan kisah catatan sejarah contoh negara-negara yang telah berhasil
mengintegrasikan ilmu dan agama. Saya sering membuat sampel negara Iran. Tentu
bukan karena saya penganut syiah. Saya sunni. Saya menyakini semua sahabat nabi
adalah generasi terbaik. Berbeda dengan sebagian kelompok syiah yang esktrem,
tidak mengakui keberadaan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan. Ia
hanya mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris suksesi kepemimpinan yang
sah.
Tapi saya suka membaca pemikiran ilmuwan-ilmuwan
syiah baik klasik maupun kontemporer. Pemikiran yang sudah diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia. tokoh yang agak ke mu’tazilah juga saya baca. Yang puritan
cukup banyak buku-buku nya di rak buku saya. Apalagi yang klasik beraliran
sunni lebih banyak lagi.
Saya tidak melihat Syiah nya atau Iran nya.
Sebagaimana saya tidak melihat bangsa baratnya atau bangsa timurnya. Ini
mirip-mirip gadis Jepang yang sudah mualaf. Kisah ini dimuat di Majalah Sabili.
Lupa tahun berapa. Sudah lama. Tapi masih ingat poin wawancaranya. Saat ditanya
oleh reporter majalah tersebut tentang sikap masyarakat Indonesia, mualaf tadi
menjawab kurang lebih begini: “Masyarakat Indonesia ramah-ramah, sangat
baik. Tapi sayangnya sangat pemalas”.
Ketika ia ditanya alasan masuk Islam,
padahal masyarakat Indonesia itu pemalas. Ia pun menjawab dengan sangat anggun;
“Antara Indonesia dan Islam itu berbeda. Islam sangat indah sekali”.
Saya sebagai masyarakat Indonesia yang
lahir, hidup dan mungkin juga mati di Indonesia tersinggung. Orang lain pun
tersinggung. Sebagian masyarakat ini memang mudah tersingguh. Sedikit-sedikit
tersinggung. Seperti supporter sepak bola. Apalagi bonek. Kadang mudah terprovokasi. Meskipun
demikian, kita memang seharusnya lapang dada. Kritik membangun. Tidak apa-apa
naturalisasi dulu. Sembari menjawab sindirian dari gadis Jepang tadi dengan
meningkatkan kualitas diri.
Kembali pada persoalan di atas. ketika saya
membaca buku-buku para ilmuwan Syiah saya menemukan suatu gambaran kehidupan
model para santri di pesantren masa dulu; makan apa adanya, yang ada di makan,
tidak ada dicari. Pesantren penanaman tauhid sangat kuat. Teori dan praktek. Ia
melahirkan alumni yang sangat mandiri. Menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Sebagian
besar menjadi pendiri pesantren, guru ngaji dan tokoh masyarakat sampai di daerah
pedalaman. Pesan para guru-gurunya pun sederhana; “Dimanapun berada, alumni
pesantren harus membuat pengajian. Meskipun muridnya sedikit. Tetap ngaji. Allah
sudah mengatur rezekinya”.
Pesantren menekankan pola hidup sederhana
dengan dihiasi tradisi intelektual telah mewarisi generasi-generasi Islam yang
tidak tergiur oleh gemerlapnya dunia. Pada generasi awal alumni pesantren bisa
menjabat apa saja, tapi hatinya “kosong” oleh nafsu yang berlebih-lebihan dalam
menumpuk harta. Konflik politik sudah biasa. Tapi sebatas untuk memperbaiki
sistem dan membangun kedewasaan berpolitik. Contoh kecil yang sederhana yaitu kesederhaan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi kepala negara. ia presiden, kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Disisi lain, status sebagai santri
yang hidup dibangun atas dasar kesederhanaan tidak luntur. Ia biasa pesan “kacang
godok” atau beli duren di pinggir jalan. Ia juga sudah terbiasa tidur di
pesantren dan hanya memakai kaos oblong saat menjadi presiden. Gus Dur telah
mencerminkan jati diri seorang santri intelektual, birokrat dan sekaligus ulama
yang mempraktekan hidup pola nabi dan para sahabat. Istilah jawa; “tidak
kedunyan”.
Pola hidup sederhana atau “tidak
kedunyan” itu bukan milik kaum Syiah. Itu ajaran Islam yang telah
dipraktekan oleh nabi, sahabat,dan para salafusholihin. Ketika Islam masuk ke Indonesia,
pola hidup yang demikian terus hidup. Para kyai, ustadz dan santri sudah
memiliki tradisi tirakat, puasa mutih, puasa daud, puasa ngebleng, puasa
ngrowot, puasa dalail, tradisi “melek mbengi” untuk “deres” Al-Qur’an atau
ilmu-ilmu agama, dan lain-lain. Semua telah malakah dalam diri mereka. Sehingga
saat menjadi alumni dan menjadi orang yang sukses, pola hidupnya tetap seperti saat
menjadi santri tetap berprinsip “memanusiakan manusia”.
Sayangnya pola hidup tersebut secara pelan
terus bergeser. Ketika bangsa Belanda menjajah Indonesia dan memperkenalkan
sistem pendidikan perguruan tinggi, ada yang kehilangan ruhnya yaitu ruh
tauhid. Pendidikan tinggi seperti STOVIA pada masa itu adalah produk dari hasil
kebencian terhadap dogma agama ( Kristen-pen) yang menjauhkan diri dari ilmu
pengetahuan. Perguruan tinggi hanya sebatas menawarkan nilai-nilai keduniaan
tentang kesetaraan, kemanusiaan, keadilan dan kebahagiaan. Ukuran-ukuran akal
semata. Terlihat sangat indah dan rasional. Tapi saat nilai-nilai tersebut
menjadi konsumsi publik, justru malah terjadi benturan-benturan yang sangat
keras akibat perbedaan memberi makna pada nilai-nilai tersebut. saat berbicara Hak
Asasi Manusia (HAM), kaum agama mempunyai cara pandang berbeda dengan penganut
agama baik di internal maupun agama lain, berbeda dengan kapitalisme,
rasionalisme, materialism, feminisme dan isme-isme lainnya.
Ajaran pola pikir perguruan pada masa
penjajah Belanda yang kemudian hari juga melahirkan Pendidikan-pendidikan di Indonesia.
kita bisa melihat sekarang ada UGM, UI, UNPAD, UNDIP dan lain-lain. Perguruan tinggi
swasta “mblarah”, baik umum maupun agama. Perguruan Tinggi Negeri Islam mulai
dari UIN, IAIN sampai STAIN sudah seperti kecambah. Pendidikan tinggi tidak
begitu Istimewa lagi.
Seandainya tidak ada Belanda mungkin tidak
ada UGM, UI, UNAIR, UIN, IAIN dan STAIN. Ia yang telah memperkenalkan kurikulum
pendidikan. Mungkin Indonesia masih ada sistem perguruan tinggi asli Indonesia seperti
Pesantren Tebuireng, Lirboyo, Ploso dan sistem Pendidikan khas ke-indonesia-an.
Kehadiran perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di atas tentu saja mempunyai
sumbangsih positif. Kita harus mengakuinya. Namun kita juga tidak melupakan
bahwa pesantren yang ada di atas telah membentuk model keislaman yang sangat
baik di Indonesia.
Sekarang yang menjadi pemikiran adalah
bagaimana memadukan dua kutub yang berbeda bisa menjadi satu kesatuan yang
kuat. Bagaimana Perguruan Tinggi benar-benar tidak liar dan sebatas pada madzhab
rasionalisme dan materialisme. Perguruan Tinggi benar-benar bisa melahirkan generasi-generasi
yang baik secara intelektual, skill, pendalaman agama bagus, mampu menyatu
dengan masyarakat, tumbuh kesederhana dan orientasi ketulusan mengabdi kepada Allah
benar-benar tumbuh dengan baik di hati para pendidik dan juga alumni-alumninya.
Saya kira rumusan ini adalah wajar. Sebab Indonesia memang berbeda dengan
negara lain; Indonesia ada pesantren dan perguruan tinggi. Berbeda dan tidak
perlu dipertentangkan. Berbeda dan perlu dibuat kesamaan untuk melahirkan
generasi Indonesia unggul dan berakhlakul karimah.
Penulis : Imam Ghozali
Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana
08 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148
Asma Mustafa: Pendidikan Sebagai Ruh Kehidupan
11 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   514
Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   753
Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   727
Lupa Membersihkan Kaca
11 Februari 2025   Oleh : Imam Ghozali   653
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120