Avatar

Imam Ghozali

Penulis Kolom

824 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Memadukan Dua Kutub Yang Berbeda



Rabu , 09 Oktober 2024



Telah dibaca :  748

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya; santri, mahasiswa dan etos kerja. Pada tulisan tersebut menceritakan kisah catatan sejarah contoh negara-negara yang telah berhasil mengintegrasikan ilmu dan agama. Saya sering membuat sampel negara Iran. Tentu bukan karena saya penganut syiah. Saya sunni. Saya menyakini semua sahabat nabi adalah generasi terbaik. Berbeda dengan sebagian kelompok syiah yang esktrem, tidak mengakui keberadaan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan. Ia hanya mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris suksesi kepemimpinan yang sah.

Tapi saya suka membaca pemikiran ilmuwan-ilmuwan syiah baik klasik maupun kontemporer. Pemikiran yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. tokoh yang agak ke mu’tazilah juga saya baca. Yang puritan cukup banyak buku-buku nya di rak buku saya. Apalagi yang klasik beraliran sunni lebih banyak lagi.

Saya tidak melihat Syiah nya atau Iran nya. Sebagaimana saya tidak melihat bangsa baratnya atau bangsa timurnya. Ini mirip-mirip gadis Jepang yang sudah mualaf. Kisah ini dimuat di Majalah Sabili. Lupa tahun berapa. Sudah lama. Tapi masih ingat poin wawancaranya. Saat ditanya oleh reporter majalah tersebut tentang sikap masyarakat Indonesia, mualaf tadi menjawab kurang lebih begini: “Masyarakat Indonesia ramah-ramah, sangat baik. Tapi sayangnya sangat pemalas”.

Ketika ia ditanya alasan masuk Islam, padahal masyarakat Indonesia itu pemalas. Ia pun menjawab dengan sangat anggun; “Antara Indonesia dan Islam itu berbeda. Islam sangat indah sekali”.

Saya sebagai masyarakat Indonesia yang lahir, hidup dan mungkin juga mati di Indonesia tersinggung. Orang lain pun tersinggung. Sebagian masyarakat ini memang mudah tersingguh. Sedikit-sedikit tersinggung. Seperti supporter sepak bola. Apalagi  bonek. Kadang mudah terprovokasi. Meskipun demikian, kita memang seharusnya lapang dada. Kritik membangun. Tidak apa-apa naturalisasi dulu. Sembari menjawab sindirian dari gadis Jepang tadi dengan meningkatkan kualitas diri.

Kembali pada persoalan di atas. ketika saya membaca buku-buku para ilmuwan Syiah saya menemukan suatu gambaran kehidupan model para santri di pesantren masa dulu; makan apa adanya, yang ada di makan, tidak ada dicari. Pesantren penanaman tauhid sangat kuat. Teori dan praktek. Ia melahirkan alumni yang sangat mandiri. Menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Sebagian besar menjadi pendiri pesantren, guru ngaji dan tokoh masyarakat sampai di daerah pedalaman. Pesan para guru-gurunya pun sederhana; “Dimanapun berada, alumni pesantren harus membuat pengajian. Meskipun muridnya sedikit. Tetap ngaji. Allah sudah mengatur rezekinya”.

Pesantren menekankan pola hidup sederhana dengan dihiasi tradisi intelektual telah mewarisi generasi-generasi Islam yang tidak tergiur oleh gemerlapnya dunia. Pada generasi awal alumni pesantren bisa menjabat apa saja, tapi hatinya “kosong” oleh nafsu yang berlebih-lebihan dalam menumpuk harta. Konflik politik sudah biasa. Tapi sebatas untuk memperbaiki sistem dan membangun kedewasaan berpolitik. Contoh kecil yang sederhana yaitu kesederhaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi kepala negara. ia presiden, kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Disisi lain, status sebagai santri yang hidup dibangun atas dasar kesederhanaan tidak luntur. Ia biasa pesan “kacang godok” atau beli duren di pinggir jalan. Ia juga sudah terbiasa tidur di pesantren dan hanya memakai kaos oblong saat menjadi presiden. Gus Dur telah mencerminkan jati diri seorang santri intelektual, birokrat dan sekaligus ulama yang mempraktekan hidup pola nabi dan para sahabat. Istilah jawa; “tidak kedunyan”.

Pola hidup sederhana atau “tidak kedunyan” itu bukan milik kaum Syiah. Itu ajaran Islam yang telah dipraktekan oleh nabi, sahabat,dan para salafusholihin. Ketika Islam masuk ke Indonesia, pola hidup yang demikian terus hidup. Para kyai, ustadz dan santri sudah memiliki tradisi tirakat, puasa mutih, puasa daud, puasa ngebleng, puasa ngrowot, puasa dalail, tradisi “melek mbengi” untuk “deres” Al-Qur’an atau ilmu-ilmu agama, dan lain-lain. Semua telah malakah dalam diri mereka. Sehingga saat menjadi alumni dan menjadi orang yang sukses, pola hidupnya tetap seperti saat menjadi santri tetap berprinsip “memanusiakan manusia”.

Sayangnya pola hidup tersebut secara pelan terus bergeser. Ketika bangsa Belanda menjajah Indonesia dan memperkenalkan sistem pendidikan perguruan tinggi, ada yang kehilangan ruhnya yaitu ruh tauhid. Pendidikan tinggi seperti STOVIA pada masa itu adalah produk dari hasil kebencian terhadap dogma agama ( Kristen-pen) yang menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi hanya sebatas menawarkan nilai-nilai keduniaan tentang kesetaraan, kemanusiaan, keadilan dan kebahagiaan. Ukuran-ukuran akal semata. Terlihat sangat indah dan rasional. Tapi saat nilai-nilai tersebut menjadi konsumsi publik, justru malah terjadi benturan-benturan yang sangat keras akibat perbedaan memberi makna pada nilai-nilai tersebut. saat berbicara Hak Asasi Manusia (HAM), kaum agama mempunyai cara pandang berbeda dengan penganut agama baik di internal maupun agama lain, berbeda dengan kapitalisme, rasionalisme, materialism, feminisme dan isme-isme lainnya.

Ajaran pola pikir perguruan pada masa penjajah Belanda yang kemudian hari juga melahirkan Pendidikan-pendidikan di Indonesia. kita bisa melihat sekarang ada UGM, UI, UNPAD, UNDIP dan lain-lain. Perguruan tinggi swasta “mblarah”, baik umum maupun agama. Perguruan Tinggi Negeri Islam mulai dari UIN, IAIN sampai STAIN sudah seperti kecambah. Pendidikan tinggi tidak begitu Istimewa lagi.

Seandainya tidak ada Belanda mungkin tidak ada UGM, UI, UNAIR, UIN, IAIN dan STAIN. Ia yang telah memperkenalkan kurikulum pendidikan. Mungkin Indonesia masih ada sistem perguruan tinggi asli Indonesia seperti Pesantren Tebuireng, Lirboyo, Ploso dan sistem Pendidikan khas ke-indonesia-an. Kehadiran perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di atas tentu saja mempunyai sumbangsih positif. Kita harus mengakuinya. Namun kita juga tidak melupakan bahwa pesantren yang ada di atas telah membentuk model keislaman yang sangat baik di Indonesia.

Sekarang yang menjadi pemikiran adalah bagaimana memadukan dua kutub yang berbeda bisa menjadi satu kesatuan yang kuat. Bagaimana Perguruan Tinggi benar-benar tidak liar dan sebatas pada madzhab rasionalisme dan materialisme. Perguruan Tinggi benar-benar bisa melahirkan generasi-generasi yang baik secara intelektual, skill, pendalaman agama bagus, mampu menyatu dengan masyarakat, tumbuh kesederhana dan orientasi ketulusan mengabdi kepada Allah benar-benar tumbuh dengan baik di hati para pendidik dan juga alumni-alumninya. Saya kira rumusan ini adalah wajar. Sebab Indonesia memang berbeda dengan negara lain; Indonesia ada pesantren dan perguruan tinggi. Berbeda dan tidak perlu dipertentangkan. Berbeda dan perlu dibuat kesamaan untuk melahirkan generasi Indonesia unggul dan berakhlakul karimah. 



Penulis : Imam Ghozali


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Bom Molotov, Sekolah dan Jiwa-Jiwa Merana
08 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   148

Asma Mustafa: Pendidikan Sebagai Ruh Kehidupan
11 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   514

Akreditasi Unggul, PAI Pembuka Kunci Sukses Prodi-Prodi Lain
08 Juni 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   753

Akreditas Unggul dan Akreditasi Subtansional
16 April 2025   Oleh : Imam Ghozali   727

Lupa Membersihkan Kaca
11 Februari 2025   Oleh : Imam Ghozali   653

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10386


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3199


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120