Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Idul Fitri: Bisakah Kita Menjadi Manusia Pemaaf?



Senin , 31 Maret 2025



Telah dibaca :  682

Tradisi Idul Fitri model Indonesia sangat dahsyat. Meskipun ‘Idul Fitri secara etimologi mempunyai arti kembali sarapan atau kembali makan seperti semula sebelum ramadhan. Para ulama dan muslim Indonesia sangat cerdas dan berfikir melampau zaman. Makna Idul Fitri dikolaborasikan dari status manusia yang sejak lahir sudah membawa status fitrah. Maknanya: pertama, fitrah perjanjian Tuhan dan manusia ketika di Alam Ruh. Pada Alam Ruh, manusia telah membawa fitrah Islam dengan bersyahadat kepada-Nya. Kedua, bayi yang baru lahir tidak membawa dosa. Islam tidak menganut dosa turunan. Meskipun orang tua pendosa, anak yang lahir dari nya statusnya masih suci, bersih dan tidak membawa dosa.

Itu sebabnya makna Idul Fitri selain mempunyai makna kembali pada kehidupan normal yaitu makan dan minum setiap hari, juga mempunyai makna filosofis yaitu kembali suci dengan saling maaf-memaafkan. Kanjeng Nabi dawuh: “Tiadalah dari dua orang Islam yang berjumpa saling bersalaman, melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah”. Ada yang lebih jelas lagi secara umum Q.S. Ali Imran ([3]:159) berbunyi sebagai berikut:

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila sengkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal”.

Para ulama dan umat muslim Indonesia menjadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum untuk saling maaf memaafkan merupakan watak asli budaya muslim indonesia secara khusus, dan budaya masyarakat Indonesia secara umum yang mempunyai sifat pemaaf. Saya kira, bangsa yang mempunyai sifat pemaaf tinggi hanya masyarakat Indonesia.

Berbeda daerah Timur Tengah, mereka mempunyai sifat pemaaf tidak sehebat masyarakat Indonesia. Sejarah membuktikan, perkelahian antar suku sudah terjadi sejak sebelum Islam datang. Hal ini diabadikan oleh Ibnu Khaldun sebagai watak ‘ashabiyah yang sangat kental. Maka, dalam kontek politik, selama nya bangsa Timur Tengah tidak cocok menggunakan sistem pemilihan kepala negara yang sering disebut dengan demokrasi. Mereka sangat sulit menerima perbedaan dan mudah tersulut api permusuhan yang berkepanjangan.

Watak masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pemaaf sudah menjadi karakter yang tidak bisa dihilangkan dari jatidiri manusia Indonesia. Penulis melihat muncul istilah “mudik” dan “balik” saat menjelang lebaran dan setelah lebaran menunjukan betapa berharganya kata “maaf” untuk orang tua dan anak-anaknya. Tidak peduli kondisi ekonomi. Mereka harus bisa pulang kampung dan bertemu dengan orang tua dan saudara-saudara nya. ada yang nekat dengan berkendaraan mobil, kendaraan roda dua, sepeda atau jalan kaki demi untuk sebuah kata maaf.

Kini tradisi “saling memaafkan” kembali lagi di Hari Raya Idul Fitri. Semua secara terbuka saling mengakui kesalahan. Kedua belah pihak dengan sukarela meminta maaf kepada orang-orang yang pernah disakiti ataupun orang-orang yang disayangi. Moment yang sangat baik untuk membersihkan kerak-kerak hati yang sudah lama menyimpan kebencian dengan beragam alasan dan tanpa alasan yang jelas.

Harapan besar momen Idul Fitri dari desain para ulama menjadikannya hari tersebut sebagai hari nasional untuk saling maaf-memaafkan. Tradisi tersebut bukan sebatas seremonial, tetapi memang lahir dari lubuk yang paling dalam. Sebab setiap orang mempunyai ukuran kesalahan yang berbeda-beda. Para pejabat, konglomerat, orang tua, anak, pendidikan dan peserta didik dan seluruh lapisan masyarakat.

Tentu ada harapan yang lebih besar lagi, tradisi saling memaafkan lagi juga menjadi jalan taubat nasional untuk saling memperbaiki perilaku-perilaku yang menyakiti Tuhan dan yang menyakiti manusia dalam beragam status sosialnya. Sebab semakin tinggi status sosial dan jabatan, semakin besar potensi dosa kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaanya.

Sebagai penutup, saya secara pribadi dan keluarga mohon maaf dzahir dan batin. Semoga kita lahir menjadi manusia yang mendapatkan kasih-sayang allah dengan selalu menjadi manusia pemaaf dan memperbaiki segala kesalahannya.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Ilmu Tawakal Hatim Al-Ashom; Rizqi Yang Tidak Tertukar
13 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   928

Doaku, Doamu, dan Doa Harimau
12 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   568

Doa Kebaikan Untuk Orang Lain, Sebenarnya Untuk Diri Sendiri
11 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   681

Puasa, Idul Fitri dan Perubahan Pola Makan
06 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   703

Idul Fitri dan Misi Perdamaian
05 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   831

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10395


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120