وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ
فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
٣
(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali
Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.
Minggu lalu saya bertemu beberapa sahabat yang sudah jadi orang hebat. Ada Mas Katmuji jadi komisioner KPU, Mas Samsurizal komisioner Bawaslu, Mas Syukron yang calon doktor Pendidikan yang masih setia menjadi dosen di STAI NH. Belakangan ini ketiganya sedang sibuk. Mas Katmuji dan Mas Samsurizal melaksanakan proses pilkada serentak. Kebetulan keduanya menunjuk ku untuk menjadi juru doa di tempat acara masing-masing. Bawaslu hari sabtu di Grand Meranti Hotel dan KPU hari minggu di Gedung Afifa Sport. Berhubung kurang terbiasa memimpin doa, jadi file doa-doa dalam otaku sangat kurang. Untung hapal doa Sapu Jagat. Satu doa untuk kebahagiaan dunia dan akherat. Pikiran nakalku dan sebagai landasan pembenar mengatakan begini " Doa terperinci ujung-ujungnya juga ingin bahagia dan selamat dunia dan akherat". Saya kira itu model pelarian dari masalah yang paling shoheh, ketika disuruh menjadi pemimpin doa.
Tidak lama kemudian, ada pesan WA kiriman dari Kabag STAIN Bengkalis, Mas Edi Purnomo. Isinya undangan wisuda atas nama Ketua STAIN Bengkalis di STAI Nurul Hidayah. Kebetulan masih di Selatpanjang, saya menyanggupi tugas tersebut.
Setelah berada di lokasi, panitia menemuiku dan mencarikan kursi di bagian VIP, sejajar dengan kursi pejabat Forkompinda, Kemenag, Baznas, anggota DPRD,
MUI. Karena mendapatkan dua kursi VIP (sebagai Ketua MUI dan wakil Ketua STAIN), maka satu kursi atas undangan ketua MUI diwakilkan pada Kyai
Nurdin. Dia cocok sekali duduk di kursi tersebut, baju nya koko berwarna putih,
peci hitam dan memakai sarung. Pas banget, “nasabnya” tapi sayangnya
nasib nya kurang pas.
Apakah status kemulyaan manusia ditentukan
oleh kursi VIP?. Bagi sebagian administrasi kehidupan perbedaan tempat duduk
dan jenis kursi memang memberi identitas tersendiri. Kita bisa melihat status
sosial dari seseorang berdasarkan kursi yang ia dapatkan. Jika berada di
deretan paling depan, berarti ia termasuk minjumlatin manusia khowasul
khowas atau khususul khusus. Jika duduk di bagian Tengah ke
belakang, berarti masuk kelompok ‘am atau manusia pada umumnya.
Pada saat tertentu, protokoler atau panitia
pelaksana harus jeli pada persoalan tersebut. Beberapa kali mendapat undangan
mewakili instansi, saya biasanya bertanya kepada protokoler berkaitan letak
tempat duduknya. Bagiku hal tersebut penting untuk mengerti sejauh mana penghargaan
pengundang terhadap instansi ku. Sebab kehadiran ku disitu bukan sebatas
sebagai pelengkap, tapi juga sebagai bagian branding dakwah (ketika membawa nama ormas atau institusi) untuk
menunjukan eksistensi dan pengakuan yang pantas diperhitungkan baik dihadapan
pemerintah, ormas, lembaga pendidikan maupun masyarakat.
Nabi dan para sahabat senantiasa melakukan branding
dakwah. Ketika mereka berhadapan dengan kaum kafirin qurays, maka mereka
menunjukan kewibawaan dan keagungannya. Sehingga kaum kafirin qurays tidak
menganggap remeh, lalu menghormati dan kemudian mereka masuk menjadi muslim
yang kaffah. Hal yang sama juga dilakukan oleh kakenya, Abdul Muthalib.
Ketika Raja Abrahah datang dan melakukan persekusi terhadap nya dan
kaumnya, Abdul Muthalib menunjukan kewibawaan yang agung dan saking agungnya
sehingga Abrahah harus turun dari atas Gajah.
Jadi branding dakwah tersebut bagian
dari tawadhu yaitu ketika mempunyai niat untuk menjaga kewibaan agama atau
institusi. Tanpa adanya sikap yang demikian, maka orang lain menganggap diri
kita lemah dan tidak berharga serta tidak mempunyai kemampuan apa-apa.
Apakah untuk menunjukan tawadhu harus
senantiasa duduk di bagian kursi VIP? Tidak juga. Sebenarnya tidak ada hubungan
antara sikap “tawadhu” dengan “Kursi VIP”. Itu dua hal yang berbeda.
Tawadhu sebenarnya sikap dan hati kita yang senantiasa bersandar kepada Allah
swt dan menjaga agama-nya dalam sikap dan perbuatan. Ketika seseorang duduk di
tempat yang mulia sebagai jalan untuk menjaga kewibawaan ajaran Tuhan, maka
melakukan langkah tersebut bagian dari tawadhu.
Hal yang sama ketika seseorang duduk dengan
masyarakat biasa padahal ia adalah seorang tokoh agama atau ulama yang
mempunyai ilmu luas, juga bagian dari tawadhu. Hal ini karena ia telah
mengajarkan tentang arti kesederhanaan, kesetaraan derajat dan merakyat yang
juga menjadi bagian ajaran Islam yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
bersama. Dari sikap tersebut juga muncul aura ketawadhuannya.
Maka tidak salah ketika ada seorang ulama,
umaro atau tokoh masyarakat makan bersama dengan bawahannya atau rakyatnya,
meskipun sebagian orang mengatakan bagian dari pencitraan. Tidak masalah, sebab
hidup ini perlu dibangun citra positif. Tanpa ada citra tersebut, kewibawaan
dan keagungan manusia menjadi runtuh. Meskipun juga harus diingat bahwa
“pencitraan” juga harus diisi dengan “kenyataan”, sebab pencitraan tanpa adanya
kerja nyata seperti Balon terlihat indah di angkas, tapi kesenggol Jarum
langsung “meletus”. Apa yang terjadi jika demikian? Jelas keindahan yang sudah
ditunjukan kepada masyarakat lenyap karena pondasi pada dirinya rapuh.
Jadi persoalan dua hal tersebut sama-sama
mulia bagi orang tawadhu, di depan mulia di belakang juga mulia, di Kursi VIP
mulia di kursi paling bontrot pun mulia. Perbedaan nya sebenarnya bahwa
branding dakwah pada saat tertentu perlu diterapkan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang tepat.
Apa buktinya? Ketika kita melihat ada
seseorang duduk yang seharusnya tidak pantas duduk di kursi VIP, maka kita akan
merespon begini: “orang tak punya etika”. Sebaliknya ketika ada orang
yang pantas mendapatkan kursi VIP, tapi tidak mendapatkannya, maka akan muncul
ucapan, “panitia acara tidak responsif”. Dua fakta kehidupan ini
menunjukan bahwa persoalan kursi VIP bukan sebatas asesoris semata, tetapi
membawa status orang tersebut apakah pantas atau tidak pantas mendapatkan
kemuliaan tersebut.
Namun yang jelas, di era sekarang ini kursi
VIP sudah mulai bergeser dari model lama yang masih berpatokan pada “nasab”,
kini mulai bergeser pada “nasib”. Status “nasab” seseorang baik dari garis
keturunan orang tuanya akan berganti oleh “nasib” hasil kerja keras. Orang yang terlalu sibuk membanggakan “nasab”
dan terlena dalam zona nyaman kemulyaan masa lalu, akan ditinggalkan oleh
peradaban berbasis kerja keras, cerdas dan Ikhlas. Ia akan diganti oleh
orang-orang berikutnya yang memperjuangkan nasibnya dengan sekuat tenaga. Kelompok
pekerja keras ini yang kemudian membangun nasab dan memperbaikinya menjadi
lebih mulia di masyarakat.
Itulah janji Tuhan kepada manusia, bahwa suatu
perubahan bisa terjadi apabila manusia tersebut yang merubahnya dengan penuh
perjuangan, bukan nasab yang diperjuangkan mati-matian. Tuhan meletakan manusia
pada perjuangan memperbaiki nasibnya, bukan memperjuangkan pengakuan nasabnya.
Penulis : Imam Ghozali
Q.S. Al-Baqarah ayat 28: Iman, Ilmu, Amal dan Angan-Angan
24 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   90
Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Ilmu
24 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    104
Membaca Pikiran Orang Besar dan Orang Kecil
20 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   225
Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Riya
20 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    157
Dalil-dalil tentang Ikhlas, Bekal untuk Kultum
18 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    225
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      5005
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      2212
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      1932
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      1586
Membangun Persatuan dalam Keberagaman
Minggu , 08 Oktober 2023      1484