Avatar

Imam Ghozali

Penulis Kolom

823 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Kisah Dua Kursi VIP



Rabu , 29 Mei 2024



Telah dibaca :  670

 

 

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ ۝٣

(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.

 

Minggu lalu saya bertemu beberapa sahabat yang sudah jadi orang hebat. Ada Mas Katmuji jadi komisioner KPU, Mas Samsurizal komisioner Bawaslu, Mas Syukron yang calon doktor Pendidikan yang masih setia menjadi dosen di STAI NH. Belakangan ini ketiganya sedang sibuk. Mas Katmuji dan Mas Samsurizal melaksanakan proses pilkada serentak. Kebetulan keduanya  menunjuk ku untuk menjadi juru doa di tempat acara masing-masing. Bawaslu hari sabtu di Grand Meranti Hotel dan KPU hari minggu di Gedung Afifa Sport. Berhubung kurang terbiasa memimpin doa, jadi file doa-doa dalam otaku sangat kurang. Untung hapal doa Sapu Jagat. Satu doa untuk kebahagiaan dunia dan akherat. Pikiran nakalku dan sebagai landasan pembenar mengatakan begini " Doa terperinci ujung-ujungnya juga ingin bahagia dan selamat dunia dan akherat". Saya kira itu model pelarian dari masalah yang paling shoheh, ketika disuruh menjadi pemimpin doa.

Tidak lama kemudian, ada pesan WA kiriman dari Kabag STAIN Bengkalis, Mas Edi Purnomo. Isinya undangan wisuda atas nama Ketua STAIN Bengkalis di STAI Nurul Hidayah. Kebetulan masih di Selatpanjang, saya  menyanggupi tugas tersebut.

Setelah berada di lokasi, panitia menemuiku dan mencarikan kursi di bagian VIP, sejajar dengan kursi  pejabat Forkompinda, Kemenag, Baznas, anggota DPRD, MUI. Karena mendapatkan dua kursi VIP (sebagai Ketua MUI dan wakil Ketua STAIN), maka satu kursi atas undangan ketua MUI diwakilkan pada Kyai Nurdin. Dia cocok sekali duduk di kursi tersebut, baju nya koko berwarna putih, peci hitam dan memakai sarung. Pas banget, “nasabnya” tapi sayangnya nasib nya kurang pas.

Apakah status kemulyaan manusia ditentukan oleh kursi VIP?. Bagi sebagian administrasi kehidupan perbedaan tempat duduk dan jenis kursi memang memberi identitas tersendiri. Kita bisa melihat status sosial dari seseorang berdasarkan kursi yang ia dapatkan. Jika berada di deretan paling depan, berarti ia termasuk minjumlatin manusia khowasul khowas atau khususul khusus. Jika duduk di bagian Tengah ke belakang, berarti masuk kelompok ‘am atau manusia pada umumnya.

Pada saat tertentu, protokoler atau panitia pelaksana harus jeli pada persoalan tersebut. Beberapa kali mendapat undangan mewakili instansi, saya biasanya bertanya kepada protokoler berkaitan letak tempat duduknya. Bagiku hal tersebut  penting untuk mengerti sejauh mana penghargaan pengundang terhadap instansi ku. Sebab kehadiran ku disitu bukan sebatas sebagai pelengkap, tapi juga sebagai bagian branding dakwah (ketika membawa nama ormas atau institusi) untuk menunjukan eksistensi dan pengakuan yang pantas diperhitungkan baik dihadapan pemerintah, ormas, lembaga pendidikan maupun masyarakat.

Nabi dan para sahabat senantiasa melakukan branding dakwah. Ketika mereka berhadapan dengan kaum kafirin qurays, maka mereka menunjukan kewibawaan dan keagungannya. Sehingga kaum kafirin qurays tidak menganggap remeh, lalu menghormati dan kemudian mereka masuk menjadi muslim yang kaffah. Hal yang sama juga dilakukan oleh kakenya, Abdul Muthalib. Ketika Raja Abrahah datang dan melakukan persekusi terhadap nya dan kaumnya, Abdul Muthalib menunjukan kewibawaan yang agung dan saking agungnya sehingga Abrahah harus turun dari atas Gajah.

Jadi branding dakwah tersebut bagian dari tawadhu yaitu ketika mempunyai niat untuk menjaga kewibaan agama atau institusi. Tanpa adanya sikap yang demikian, maka orang lain menganggap diri kita lemah dan tidak berharga serta tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Apakah untuk menunjukan tawadhu harus senantiasa duduk di bagian kursi VIP? Tidak juga. Sebenarnya tidak ada hubungan antara sikap “tawadhu” dengan “Kursi VIP”. Itu dua hal yang berbeda. Tawadhu sebenarnya sikap dan hati kita yang senantiasa bersandar kepada Allah swt dan menjaga agama-nya dalam sikap dan perbuatan. Ketika seseorang duduk di tempat yang mulia sebagai jalan untuk menjaga kewibawaan ajaran Tuhan, maka melakukan langkah tersebut bagian dari tawadhu.

Hal yang sama ketika seseorang duduk dengan masyarakat biasa padahal ia adalah seorang tokoh agama atau ulama yang mempunyai ilmu luas, juga bagian dari tawadhu. Hal ini karena ia telah mengajarkan tentang arti kesederhanaan, kesetaraan derajat dan merakyat yang juga menjadi bagian ajaran Islam yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama. Dari sikap tersebut juga muncul aura ketawadhuannya.

Maka tidak salah ketika ada seorang ulama, umaro atau tokoh masyarakat makan bersama dengan bawahannya atau rakyatnya, meskipun sebagian orang mengatakan bagian dari pencitraan. Tidak masalah, sebab hidup ini perlu dibangun citra positif. Tanpa ada citra tersebut, kewibawaan dan keagungan manusia menjadi runtuh. Meskipun juga harus diingat bahwa “pencitraan” juga harus diisi dengan “kenyataan”, sebab pencitraan tanpa adanya kerja nyata seperti Balon terlihat indah di angkas, tapi kesenggol Jarum langsung “meletus”. Apa yang terjadi jika demikian? Jelas keindahan yang sudah ditunjukan kepada masyarakat lenyap karena pondasi pada dirinya rapuh.

Jadi persoalan dua hal tersebut sama-sama mulia bagi orang tawadhu, di depan mulia di belakang juga mulia, di Kursi VIP mulia di kursi paling bontrot pun mulia. Perbedaan nya sebenarnya bahwa branding dakwah pada saat tertentu perlu diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.

Apa buktinya? Ketika kita melihat ada seseorang duduk yang seharusnya tidak pantas duduk di kursi VIP, maka kita akan merespon begini: “orang tak punya etika”. Sebaliknya ketika ada orang yang pantas mendapatkan kursi VIP, tapi tidak mendapatkannya, maka akan muncul ucapan, “panitia acara tidak responsif”. Dua fakta kehidupan ini menunjukan bahwa persoalan kursi VIP bukan sebatas asesoris semata, tetapi membawa status orang tersebut apakah pantas atau tidak pantas mendapatkan kemuliaan tersebut.

Namun yang jelas, di era sekarang ini kursi VIP sudah mulai bergeser dari model lama yang masih berpatokan pada “nasab”, kini mulai bergeser pada “nasib”. Status “nasab” seseorang baik dari garis keturunan orang tuanya akan berganti oleh “nasib” hasil kerja keras.  Orang yang terlalu sibuk membanggakan “nasab” dan terlena dalam zona nyaman kemulyaan masa lalu, akan ditinggalkan oleh peradaban berbasis kerja keras, cerdas dan Ikhlas. Ia akan diganti oleh orang-orang berikutnya yang memperjuangkan nasibnya dengan sekuat tenaga. Kelompok pekerja keras ini yang kemudian membangun nasab dan memperbaikinya menjadi lebih mulia di masyarakat.

Itulah janji Tuhan kepada manusia, bahwa suatu perubahan bisa terjadi apabila manusia tersebut yang merubahnya dengan penuh perjuangan, bukan nasab yang diperjuangkan mati-matian. Tuhan meletakan manusia pada perjuangan memperbaiki nasibnya, bukan memperjuangkan pengakuan nasabnya.



Penulis : Imam Ghozali


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Q.S. Al-Baqarah ayat 28: Iman, Ilmu, Amal dan Angan-Angan
24 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   90

Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Ilmu
24 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    104

Membaca Pikiran Orang Besar dan Orang Kecil
20 April 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   225

Dalil-Dalil dalam al-Qur'an tentang Riya
20 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    157

Dalil-dalil tentang Ikhlas, Bekal untuk Kultum
18 April 2025   Oleh : Muhammad Faiz Artanabil    225

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      5005


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      2212


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      1932


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      1586


Membangun Persatuan dalam Keberagaman
Minggu , 08 Oktober 2023      1484