
Menjelang Hari Santri Tanggal 22 Oktober mendatang,
ada beberapa deretan peristiwa menyedihkan yang sangat mengharu biru. Salah
satu yang lagi viral, pemberitaan Trans 7 tentang Pesantren Lirboyo yang lebih
cocok disebut sebagai “provokator sampah” ketimbang sebagai media elektronik
yang menjunjung tinggi profesionalitas, kejujuran, akurasi data dan independensi.
Benar, dunia santri tidak jauh berbeda
dengan dunia pendidikan lainnya. Tidak ada kesempurnaan pendidikan di jagat
raya sekarang ini. Bahkan perguruan tinggi -yang katanya sangat tervaforit
sekalipun di dunia- sekarang ini ikut menyumbangkan penderitaan dengan menghasilkan para provokator yang menghancurkan bangsa Palestina, bahkan ikut juga melakukan genoside di negeri para
nabi. Silahkan cek saja para pemimpin atau aktivis yang berpendidikan paling
bagus di dunia, ternyata paling dahsyat juga membuat mayarakat Gaza menderita.
Jika ada pejabat, menteri atau apa saja
melakukan kesalahan, bukan berarti kesalahan terjadi pada institusi. Membuat generalisasi
suatu kasus dengan menghadirkan berita terhadap satu atau beberapa kasus untuk
membumi hanguskan suatu institusi merupakan bagian dari ketidakpahaman-jika
tidak mau disebut dungu-terhadap lembaga institusi dengan aspek nilai-nilai
yang dianutnya.
Hal sama juga pemberitaan yang dilakukan
oleh Trans 7 pada Pesantren Lirboyo. Sang wartawan mungkin masih belajar membuat konten dan hanya mengejar sensasi dan
provokasi berita tanpa mempertimbangankan aspek-aspek kultur dan nilai-nilai
yang dianut oleh pesantren. Tentu saja nilai-nilai para ulama tersebut sudah ada sejak
sebelum adanya Kemerdekaan Republik Indonesia. Akibatnya, bukan berita yang
benar dan mengedukasi, justru malah menebarkan fitnah yang sangat luarbiasa di tengah sedihnya
dunia kepesantrenan atas beberapa peristiwa belakangan.
Pesantren Lirboyo tentu saja jauh lebih tua
usianya ketimbang Trans 7. Pesantren ini dan pesantren-pesantren tua lainnya
seperti Pesantren Tebuireng, Darul Ulum, Pesantren Ploso, Pesantren Darussalam Banyuwangi,
Pesantrren Gontor, Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang, Pesantren Al-Anwar dan
ribuan pesantren tua lainnya mempunyai sejarah sama dan nilai-nilai kebaikan
yang dianut juga hampir sama yaitu merawat budaya keindonesian yang mempunyai “unggah-ungguh”
kepada orang yang lebih tua atau ulama. bahkan tradisi ini menjadi jati diri sejak pertama Islam datang ke Nusantara-belum ada istilah Indonesia.
Pesantren-pesantren tersebut lahir dari rahim
para ulama, santri sekaligus pejuang kemerdekaan. Sang kyai mendirikan
pesantren ala kadarnya. Para ulama benar-benar ulama. Ia hanya punya Tempat Tinggal sederhana dan Mushola kecil terbuat dari kayu atau bambu. Semakin hari Santri berdatangan dari segala penjuru Nusantara. Lalu dengan kesadaran yang tinggi,
para santri mempunyai inisiatif membuat gubug atau bangunan yang kini dikenal
dengan nama asrama. Semakin tahun semakin bertambah, para santri dengan ikhlas
mengumpulkan iuran dan membangun asrama-asrama begitu banyak. Bangunan-bangunan
ini murni dari keikhlasan dari sumbangan masyarakat, bukan dari bantuan
pemerintah.
Pertumbuhan pesantren semakin hari semakin besar. Mereka membuat bersama-sama. Para santri -era dulu-juga biasa mencari beras sendiri dengan kerja kepada masyarakat. Mereka masak bersama-sama ala kadarnya. Mereka memahami kesederhanaan dan keiklasan sebagaimana yang dicontohkan para sahabat nabi yang tinggal di masjid. Makan apa adanya.
Pola pendidikan agama yang demikian, melahirkan militansi santri sangat luarbiasa. Selain itu tumbuh rasa jihad fisabilillah sangat tinggi. Hingga pada akhirnya produk pesantren
ini menjadi satu-satunya produk pendidikan agama sejak zaman penjajah yang berani melawan imperialisme penjajah, pada masa orde lama yang
terang-terangan melawan gerakan Partai Komunis Indonesia-PKI. Itu sebabnya imperialisme bangsa barat dan kaum
komunis sangat membenci sekali dengan pesantren, kyai dan santri. Jadi, tidak
ada lembaga pendidikan yang paling dibenci oleh PKI pada masa itu kecuali
pondok pesantren tradisional yang dilahirkan oleh para ulama ahlusunnah wal
jamaah.
Kisah keberanian para santri melawan PKI
bukan isapan jempol. Penulis artikel ini telah berkeliling di berbagai
pesantren dan pernah tinggal di tempat tersebut telah mendapatkan cerita sama
yaitu pesantren pejuang utama dalam pembunuhan komunis pada tahun 1965.
Di pesantren Darussalam Banyuwangi mendapatkan
cerita dari santri senior sebagai saksi sejarah. ia bersama dengan para santri
senior mempunyai tugas melakukan pembunuhan para pemberontak pki. Sungai di
barat pesantren pesantren tersebut menjadi saksi bisu. Air deras mengalir
berubah menjadi merah darah para pembrontak.
Kisah ini juga didapat di berbagai
pesantren selain Pesantren Darussalam yang cukup banyak berdiri
pesantren-pesantren di kabupaten ujung Jawa Timur tersebut.
Cerita sama Pesantren Jawa Tengah. Ada
Pesantren Raudhatut Thalibin Sirau. Dari pesantren ini saya mendapatkan cerita
bagaimana bencinya PKI terhadap pesantren. Mereka ingin sekali membunuh ulama
dan santri. Namun terlambat, mereka duluan yang terbunuh. Ulama, santri bersama
tentara melakukan pembersihan terhadap eks PKI yang ada di Sirau suatu desa di Kabupaten
Banyumas.
Hal sama ketika saya berjalan-jalan di pesantren
tua di Sumatera. Saya keliling dan ingin mengetahui peran santri pesantren
terhadap pembasmian PKI. Saksi hidup masih banyak. Mereka rata-rata menjadi
saksi bahwa para santri menjadi penggerak utama di tengah-tengah masyarakat
dalam upaya menghancurkan kekuatan komunis di Indonesia.
Maka wajar jika komunis sangat membenci
ulama dan santri. Selain secara ideologi sangat bertentangan dengan ideologi pesantren,
mereka juga mempunyai cita-cita yang tidak mungkin diterima oleh ulama dan
santri yaitu mendirikan negara komunis di Indonesia. Wajar jika para ulama dan
santri sejak dulu menjadi ejekan para aktivis komunis.
Seperti apa sifat santri? Kenapa sangat militant?
Kenapa sangat ditakuti oleh komunis?.
Santri merupakan pelajar didikan para
ulama. Dan para ulama merupakan pewaris para nabi. Jadi sebenarnya santri telah
mentransfer akhlak-akhlak para ulama yang sebenarnya juga mencontoh dari Nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya. Mereka siap berkurban, bukan hanya sebatas harta tapi
juga nyawa.
Andai saja Nabi Muhammad san para sahabat
masih hidup saat sekarang ini, bisa jadi akan di bully tanpa ampun.
Anda bisa membayangkan, ada seorang sahabat
bertemu Nabi dengan ikhlas memberikan sebagian kekayaan, bahkan ada yang seluruh
kekayaan diberikan kepada Nabi. Ada sahabat yang memberikan putri nya untuk
dinikahi oleh Nabi. Ada sahabat yang datang kepada Nabi memberi hadiah dan
makanan. Kenapa ini terjadi? karena mereka sangat mencintai Nabi Muhammad SAW.
Nama nya juga cinta, apapun akan dilakukan demi untuk orang yang dicintai. Wong
Nabi saja hidup tidak pada zaman FB saja sudah dibunuh karakternya oleh kaum
munafikin. Apalagi jika hidup di masa sekarang ini. Ngeri!.
Santri dari dulu hingga sekarang sama,
sangat mencintai para guru-guru nya. Sejak zaman sebelum ada negara Indonesia sampai
saat sekarang, punya perilaku sama, yaitu sama-sama ingin memulyakan guru-guru
nya. Salah satunya yaitu suka memberi makanan atau uang-meskipun terkadang
hanya sepuluh ribu rupiah. Itulah tafa’ulan yang dulu diajarkan oleh Nabi,
dipraktekan para sahabat, tabi’in, tabi’in, para ulama hingga santri saat
sekarang ini.
Saya punya orang tua. Bapak ku sudah biasa
memberi sesuatu benda atau uang kepada guru-guru atau kyai-kyai ku. Bukan
apa-apa, bukan juga karena banyak duitnya, bukan juga karena ingin dipuji. Semua
ini dilakukan karena ajaran para sahabat yang sangat memulyakan Nabi. Dan kini
pewaris nabi itu para ulama, santri dan orang tua nya melakukan sunah-sunah
kebaikan yang pernah dilakukan oleh nabi dan sahabat-sahabatnya pada masa dulu.
Hal yang sama juga begitu, anak saya sampai
sekarang selalu saya ajari agar memberi kenangan-kenangan terbaik kepada para
pendidik. Kadang berupa makanan, kadang berupa uang. Istri ku saya latih, agar
setiap orang yang datang meminta bantuan uang atau sumbangan harus dikasih. Sepanjang
itu untuk kebaikan. Meskipun jumlah nya kecil.
Dari tradisi kebaikan santri tersebut,
sebenarnya dalam upaya mentradisikan sunnah nabi dalam wujud sosial, mentradisikan
amalan kebaikan serta mentradisikan etika generasi muda untuk senantiasa
memulyakan para ulama. Sebab kehancuran terbesar umat Islam saat sekarang ini,
jika ulama sudah tidak dihargai. Jika umat Islam membiarkan ini terjadi, maka
bisa jadi Islam hanya kenangan. Salah satu untuk menghancurkan umat Islam yaitu
dengan menusuk jantung umat Islam yaitu pesantren.
Penulis : Vijianfaiz,PhD
Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121
Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   191
Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176
Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104
Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10395
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120