Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Mahasiswa dan Makna Keabadian


 DIARY

Selasa , 07 Oktober 2025



Telah dibaca :  381

Hari ini mahasiswa memenuhi ruanganku sambil membawa Laptop. Mereka adalah mahasiswa yang harus “setoran” tiap minggu: setoran tulisan ilmiah. Persis seperti di Pesantren ada istilah “setoran”. Hanya bedanya di pesantren bukan setoran tulisan ilmiah, tapi bisa berupa: setoran hapalan Al-Qur’an, hapalan al-hadist, tatabahasa arab, atau Sastra Arab. Itu sebabnya, alumni pesantren banyak yang hapal Al-Qur’an, hadist dan sastra Arab, tapi lemah dalam karya penulisan. Sedangkan kampus unggul dalam tulis menulis lemah dalam hapalan. Ini yang kemudian lahir istilah pesantren mencetak ulama, sedangkan kampus mencetak intelektual. Padahal dua-dua nya sama artinya yaitu ‘ulama - علماء- dalam bahasa Arab.

Dunia tulis menulis di kalangan pesantren kurang diminati. Namun demikian, saya sudah mulai melihat belakangan ini pesantren mulai berminat menekuni karya tulis menulis. Setidaknya pengalaman ku saat di pesantren pada tahun 1995-an, sudah muncul bibit unggul santri yang mahir dalam dunia tulis menulis. Setidaknya mereka -santri-sudah mempunyai modal cukup banyak pada literatur klasik. Dipermak sedikit pada jurnalistik dan penulisan karya ilmiah, hasilnya sangat bagus sekali.

Kini ada transformasi kaum santri merambah di perguruan tinggi. Adanya islamisasi regulasi yang diterapkan masing-masing kampus dengan memberi persyaratan kepada calon mahasiswa melalui jalur tahfidz -hapal al-qur’an, dengan beragam jumlah juz. Mahasiswa jenis ini mempunyai beragam fasilitas atau kemudahan untuk memilih program-program studi yang mereka inginkan. Adanya islamisasi regulasi sejenisnya ini akan memunculkan kelompok mahasiswa Islam yang bisa mengisi kekosongan kaum santri yang tidak bisa masuk pada perguruan tinggi baik umum maupun agama. melalui mereka, tradisi tulis menulis bisa hidup dan mampu membumikan nilai-nilai Islam dengan sudut pandang keahlian dari masing-masing prodi. Sehingga ajaran Islam benar-benar bisa menjadi payung yang menjangkau seluruh aspek kehidupan sekaligus laksana bibit pohon yang mampu hidup di segala jenis tanah.

Hanya saja saya masih menemukan kendala ketika bertemu dengan para mahasiswa. Mereka sebenarnya mempunyai kemampuan sangat baik ketika dididik sungguh-sungguh. Mereka cepat paham. Gampang nyantel. Tapi lemah pada sisi ide. Kadang mereka kebingungan menemukan obyek penelitian yang menarik untuk diteliti. Padahal jika mereka benar-benar tenang sebentar dan melihat di sekitarnya, maka akan menemukan mutiara-mutiara yang sangat melimpah untuk menjadi bahan kajian.

“Anda boleh menulis apa saja, silahkan” kalimat ini yang sering saya katakan kepada mereka. Namun anda jangan membiasakan plagiasi. Tulis apa saja, jelek tak masalah. Jangan dihapus, tetap disimpan. Tulis lagi, dan tulis lagi. Sesederhana apapun ide kamu itu jauh lebih berharga daripa makalah mu bagus tapi dibuatkan oleh orang lain.

Mungkin kalimat tersebut terlalu provokatif dan kurang sopan. Apalagi saya yang secara teori penulisan pun masing amburadul. Justru karena persoalan tersebut, menyebabkan saya memberanikan diri untuk mengajak kepada mahasiswa membiasakan menulis dan menghasilkan karya benar-benar hasil karya sendiri, bukan orang lain. “Saya yang amburadul saja bisa menulis, masa kalian yang hebat-hebat tidak bisa menghasilkan karya tulis” kataku berseloroh kepada mahasiswa pagi ini. Mereka pun tersenyum atas sanjungan ku.

“Bagaimana jika susunan kalimat kurang tetap, dan tulisan nya tidak sesuai dengan aturan baku bahasa Indonesia? “ tanya salah satu mahasiswa.

“Bantai saja, tidak usah mikir itu semua, seperti anak kecil belajar sepeda, mereka bisa naik sepeda bukan karena telah membaca buku panduan, tapi karena mereka ingin sekali naik sepeda. Akhirnya bisa. Jika kalian mempunyai motivasi yang mendalam dalam hati ingin menjadi penulis, maka dalam waktu yang tidak begitu lama cita-cita mu akan terwujud” jawab ku memberi semangat. Persis motivator saat memberi motivasi kepada audiens. Tentu bukan sekelas Mario Teguh – yang konon akhirnya hilang “teguh” nya-, atau Ary Ginanjar -yang dulu Tim nya gagal memotivasi diriku. Saat satu ruangan menangis semua di Balai Diklat Sumbar-lupa tahunya, saya dan teman ku mas Zainal malah tertawa.

Pagi ini saya memeriksa satu persatu. Dari sepuluh karya tulis, ada delapan yang sudah baik sekali -belum unggul. Dua artikel masih perlu bimbingan dan evaluasi lanjutan. Saya melihat secara pelan-pelan tulisan mereka. Saya tersenyum penuh kagum: “Ternyata mereka hebat-hebat, bahkan lebih hebat dariku saat seumuran mereka”.

Mereka benar-benar mempunyai kemampuan menulis untuk menjadi penulis yang baik. Namun laksana sebuah pohon yang sedang tumbuh, apakah pertumbuhan mereka akan tetap dirawat atau malah terkena virus atau bakteri, saya tidak tahu. Semoga saja, mereka benar-benar tetap pada jalur yang benar untuk terus mengasah kemampuan terbaik mereka. Sebab itulah jalan menuju keabadian hidup, yaitu suatu keabadian peradaban melalui untaian kalimat yang akan terus menjadi saksi dalam lintasan sejarah sampai sang penulis sendiri sudah hancur di dalam tanah.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


Avatar

Mardiyo

Alhamdulillah berkah selalu pak doktor

   Berita Terkait

Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121

Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   191

Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176

Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104

Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10393


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120