
Hari ini mahasiswa memenuhi ruanganku
sambil membawa Laptop. Mereka adalah mahasiswa yang harus “setoran” tiap
minggu: setoran tulisan ilmiah. Persis seperti di Pesantren ada istilah “setoran”.
Hanya bedanya di pesantren bukan setoran tulisan ilmiah, tapi bisa berupa:
setoran hapalan Al-Qur’an, hapalan al-hadist, tatabahasa arab, atau Sastra Arab.
Itu sebabnya, alumni pesantren banyak yang hapal Al-Qur’an, hadist dan sastra Arab,
tapi lemah dalam karya penulisan. Sedangkan kampus unggul dalam tulis menulis
lemah dalam hapalan. Ini yang kemudian lahir istilah pesantren mencetak ulama,
sedangkan kampus mencetak intelektual. Padahal dua-dua nya sama artinya yaitu ‘ulama
- علماء- dalam bahasa Arab.
Dunia tulis menulis di kalangan pesantren kurang
diminati. Namun demikian, saya sudah mulai melihat belakangan ini pesantren
mulai berminat menekuni karya tulis menulis. Setidaknya pengalaman ku saat di
pesantren pada tahun 1995-an, sudah muncul bibit unggul santri yang mahir dalam
dunia tulis menulis. Setidaknya mereka -santri-sudah mempunyai modal cukup
banyak pada literatur klasik. Dipermak sedikit pada jurnalistik dan penulisan
karya ilmiah, hasilnya sangat bagus sekali.
Kini ada transformasi kaum santri merambah
di perguruan tinggi. Adanya islamisasi regulasi yang diterapkan masing-masing
kampus dengan memberi persyaratan kepada calon mahasiswa melalui jalur tahfidz
-hapal al-qur’an, dengan beragam jumlah juz. Mahasiswa jenis ini mempunyai
beragam fasilitas atau kemudahan untuk memilih program-program studi yang
mereka inginkan. Adanya islamisasi regulasi sejenisnya ini akan memunculkan kelompok
mahasiswa Islam yang bisa mengisi kekosongan kaum santri yang tidak bisa masuk
pada perguruan tinggi baik umum maupun agama. melalui mereka, tradisi tulis
menulis bisa hidup dan mampu membumikan nilai-nilai Islam dengan sudut pandang
keahlian dari masing-masing prodi. Sehingga ajaran Islam benar-benar bisa
menjadi payung yang menjangkau seluruh aspek kehidupan sekaligus laksana bibit
pohon yang mampu hidup di segala jenis tanah.
Hanya saja saya masih menemukan kendala
ketika bertemu dengan para mahasiswa. Mereka sebenarnya mempunyai kemampuan
sangat baik ketika dididik sungguh-sungguh. Mereka cepat paham. Gampang nyantel.
Tapi lemah pada sisi ide. Kadang mereka kebingungan menemukan obyek penelitian
yang menarik untuk diteliti. Padahal jika mereka benar-benar tenang sebentar
dan melihat di sekitarnya, maka akan menemukan mutiara-mutiara yang sangat
melimpah untuk menjadi bahan kajian.
“Anda boleh menulis apa saja, silahkan” kalimat
ini yang sering saya katakan kepada mereka. Namun anda jangan membiasakan
plagiasi. Tulis apa saja, jelek tak masalah. Jangan dihapus, tetap disimpan. Tulis
lagi, dan tulis lagi. Sesederhana apapun ide kamu itu jauh lebih berharga
daripa makalah mu bagus tapi dibuatkan oleh orang lain.
Mungkin kalimat tersebut terlalu provokatif
dan kurang sopan. Apalagi saya yang secara teori penulisan pun masing amburadul.
Justru karena persoalan tersebut, menyebabkan saya memberanikan diri untuk
mengajak kepada mahasiswa membiasakan menulis dan menghasilkan karya
benar-benar hasil karya sendiri, bukan orang lain. “Saya yang amburadul
saja bisa menulis, masa kalian yang hebat-hebat tidak bisa menghasilkan karya
tulis” kataku berseloroh kepada mahasiswa pagi ini. Mereka pun tersenyum atas
sanjungan ku.
“Bagaimana jika susunan kalimat kurang
tetap, dan tulisan nya tidak sesuai dengan aturan baku bahasa Indonesia? “
tanya salah satu mahasiswa.
“Bantai saja, tidak usah mikir itu semua,
seperti anak kecil belajar sepeda, mereka bisa naik sepeda bukan karena telah
membaca buku panduan, tapi karena mereka ingin sekali naik sepeda. Akhirnya bisa.
Jika kalian mempunyai motivasi yang mendalam dalam hati ingin menjadi penulis,
maka dalam waktu yang tidak begitu lama cita-cita mu akan terwujud” jawab ku memberi
semangat. Persis motivator saat memberi motivasi kepada audiens. Tentu bukan
sekelas Mario Teguh – yang konon akhirnya hilang “teguh” nya-, atau Ary
Ginanjar -yang dulu Tim nya gagal memotivasi diriku. Saat satu ruangan menangis
semua di Balai Diklat Sumbar-lupa tahunya, saya dan teman ku mas Zainal malah
tertawa.
Pagi ini saya memeriksa satu persatu. Dari sepuluh
karya tulis, ada delapan yang sudah baik sekali -belum unggul. Dua artikel
masih perlu bimbingan dan evaluasi lanjutan. Saya melihat secara pelan-pelan tulisan
mereka. Saya tersenyum penuh kagum: “Ternyata mereka hebat-hebat, bahkan lebih
hebat dariku saat seumuran mereka”.
Mereka benar-benar mempunyai kemampuan
menulis untuk menjadi penulis yang baik. Namun laksana sebuah pohon yang sedang
tumbuh, apakah pertumbuhan mereka akan tetap dirawat atau malah terkena virus
atau bakteri, saya tidak tahu. Semoga saja, mereka benar-benar tetap pada jalur
yang benar untuk terus mengasah kemampuan terbaik mereka. Sebab itulah jalan
menuju keabadian hidup, yaitu suatu keabadian peradaban melalui untaian kalimat
yang akan terus menjadi saksi dalam lintasan sejarah sampai sang penulis sendiri
sudah hancur di dalam tanah.
Penulis : Vijianfaiz,PhD
Mardiyo
Alhamdulillah berkah selalu pak doktor
Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121
Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   191
Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176
Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104
Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10393
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120