Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Santri Imajiner di Masa Mendatang


 DIARY

Jumat , 24 Oktober 2025



Telah dibaca :  444

Beberapa waktu lalu-entah kapan lupa-saya menemukan komentar kocak-tapi masuk akal juga- di facebook. Ada seorang pemilik akun FB menulis "kata mutiara" Sujiwo Tejo. Kalimat nya begini: “Salah satu tanda dirimu tidak berakhlak adalah main HP saat ada orang yang berbicara padamu”.

Netizen menjawab dengan cukup cerdik :”Salah satu tanda dirimu tidak berakhlak adalah dah tau orang lain sibuk megang HP malah diajak ngobrol”.

Netizen kedua bersikap bijak dengan kalimat begini: “Supaya sama-sama berakhlak yaitu kamu diam saat teman mu berbicara melalui HP”.

Kalimat tersebut di atas mungkin bisa menggambarkan pro-kontra tentang budaya pesantren yang viral beberapa waktu lalu di tengah-tengah masyarakat dunia maya. Perdebatan tentang kyai, santri dan pesantren memang tidak pernah kering dan selalu saja menjadi inspirasi untuk menuangkan segala ide-ide seseorang. Entah itu ide-ide membangun atau pun hanya sebatas nyinyir kelompok masyarakat terrtentu yang sejak "penjuron" sudah sangat membenci nya dan menyeebarkannya melalui netizen robot buzzer yang digerakan melalui akun-akun palsu yang saat sekarang ini marak terjadi di media sosial.

Pada era tahun 1980-an dan era 1990 an saat teknologi komunikasi masih terbatas, lembaga pendidikan pesantren masih dilihat sebelah mata oleh kaum priyayi dan kaum abangan. Dua kelompok ini memilih pendidikan umum yang lebih memberikan harapan masa depan anak-anak nya mendapatkan pekerjaan seperti masuk sekolah kejuruan seperti STM, SMK dan PGA. Jika ada keluarga termasuk dari keluarga terpandang dan kaya, anak-anak nya akan di kuliahkan di perguruan tinggi umum.

Maka pada era tahun 1980 -1990 kelompok priyayi dan kaum abangan menguasai kekuatan politik dan pemerintahan. Mereka yang menguasi negara dan pemerintahan. Maka penulis bisa mema’lumi,kehidupan beragama pada tingkat pemerintahan baik pemerintah daerah hingga pusat, kehidupan keagamaan masih terlihat rendah. Ajaran Islam masih didominasi oleh kelompok-kelompok alumni pesantren yang sangat aktif membuka majelis ta'lim, sekolah agama dan pesantren-pesantren tradisional. 

Diantara kurang bergairah kehidupan beragama pada era orde baru yaitu sangat sulit ditemukan masjid atau mushola di perkantoran, ditempat-tempat umum, sekolah dan perusahaan. Pada waktu itu juga ada surat keputusan dari menteri sosial Haryati Soebadio tentang legalisasi judi dengan nama SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah). 

Pasca reformasi suara umat Islam semakin terbuka lebar. Lembaga pendidikan berbasis agama pun semakin mengalami pergeseran sejalan peran kaum santri masuk di politik dan pemerintahan. Disisi lain perkembangan ormas Islam pun ikut tumbuh dan mendirikan lembaga pendidikan baru dengan format pesantren-sistem pendidikan berasrama. Sistem lembaga pendidikan agama tersebut menggunan istilah Islamic Boarding School. Lalu muncul juga pendidikan formal dengan tambahan “IT” seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu-SDIT- dan Sekolah Menengah Pertama Islam terpadu-SMPIT.

Era reformasi juga telah turut membantu semakin terbuka arus informasi. Sejalan perkebangan saint dan teknologi seluruh aktivitas public bisa diakses. Bukan hanya persoalan yang positif, tapi juga hal-hal negatif dan bersifat merusak dalam wujud koten-konten yang sangat mudah diakses oleh siapa saja tanpa batas umur. Lalu tercipta masyarakat baru yaitu masyarakat dunia maya. Mereka bisa berkomunikasi tanpa batas dan melakukan segala aktivitas dan transaksi apa saja dengan sangat mudah.

Beberapa aktivitas negatif yang sangat menghantui keluarga dan masyarakat yaitu pergaulan bebas dan kebiasaan anak-anak remaja hingga anak-anak muda mengkonsumsi obat-obat terlarang.

Beberapa waktu lalu saya naik ojek online di sebuah kota. Supirnya bersih dan tanpan. Ia sudah bekerja. Sisa waktu digunakan bekerja sebagai supir online. Ketika ditanya alasanya, saya cukup kaget. “Untuk menghindari teman-teman ngajak minum-minum. Kota ini sangat bahaya. Narkoba sudah dijual sangat bebas di tempat-tempat kafe dan tempat nongkrong yang dipinggir jalan. Mereka terlihat minum-minum atau makan-makan, tapi sebenarnya cara ini mereka sering menggunakan obat terlarang”, katanya.

Saya kaget. Namun dalam beberapa orang tua yang saya temui, saat sekarang ini mereka merasa ada kekhawatiran luarbiasa budaya kehidupan anak-anak muda yang demikian. Mereka adalah para pelajar dan mahasiswa yang menjadi sasaran korban.

Fakta kehidupan demikian telah mendorong pemerintah membuat format baru lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah ber asrama. Perguruan tinggi ada ma’had ali atau asrama sekaligus tempat kajian agama. Begitu juga saat ini saya melihat tokoh agama, ormas-ormas agama-yang dulu sangat membid’ahkan pesantren-pun sekarang membuat sistem pendidikan pesantren. Para politisi, dan masyarakat ramai-ramai membuat lembaga pendidikan model pesantren dengan beragam inovasi untuk menjawab tantangan zaman yang semakin komplek.

Jika dulu pesantren dipresepsikan sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang oleh orang-orang anti pesantren, sekarang justru bergeser menjadi persaingan pesantren karena berbeda ideologi. Kelompok Islam puritan-salafi wahabi- yang dulu sangat membenci pesantren, justru sekarang sangat masif membuat pesantren. Pesantren yang dulu identik dengan lembaga pendidikan kaum tradisional yang sering disebut kaum ahlusunnah wal jamaah, kini sudah ada pesantren berbasis ajaran salafi. Pesantren ini yang selalu berbicara Islam murni dan  menyerang ajaran Islam tradisional dengan framing sangat negatif.

Bisa jadi ke depan, pesantren akan menjadi lembaga pendidikan alternatif untuk menyelesaikan persoalan bangsa seperti kemerosotan moral generasi muda  yang belakangan ini marak terekspos di media sosial. Lembaga ini telah terbukti efektif menjaga perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas dan kosnsumsi narkoba.

Namun, kita juga akan melihat kedepan-tidak kalah dengan kasus narkoba-, akan ada persoalan budaya baru yang muncul dari pesantren akibat munculnya pesantren-pesantren Islam puritan yaitu perdebatan saling menyalahkan ibadah sesama muslim ke depan. Jika ini telah tersemai lebih luas, maka persoalan tersebut bisa jadi akan memunculkan konflik yang sangat serius di tengah-tengah masyarakat. Contoh kecil saja, kasus yang menimpa Trans 7 beberapa waktu lalu.

Pesantren yang dulu sebagai lembaga pendidikan agama yang sangat perhatian terhadap hidupnya beragam budaya di tengah masyarakat, bisa jadi akan lahir produk  alumni pesantren yang menentang perbedaan pandangan keagamaan dan budaya. Cikal bakal ini  sudah terjadi beberapa tahun lalu. Peristiwa bom bali jilid I dan II, bom mariot, bom panci adalah bagian dari produk pesantren yang tidak menghargai keberagaman budaya, agama dan keyakinan. Pesantren telah melahirkan varian jenisnya dan mempunyai cara pandang terhadap keberagaman yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ini akan menjadi ujian besar kehidupan kepesantrenan di masa mendatang, apakah pesantren akan menyumbangkan kekuatan sebagai "perekat" persatuan atau malah sebaliknya sebagai agen "peretak"-penghancur- keberagaman dan malah menimbulkan sikap eklusifitas dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu, sejarah bangsa ini yang akan mencatatnya.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121

Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   190

Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176

Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104

Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10391


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3200


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120