Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Suara Tawa dan Tangis Di Perpustakaan


 DIARY

Kamis , 09 Oktober 2025



Telah dibaca :  364

Hari ini saya memenuhi undangan dosen muda hebat-hebat: Rino Riyaldi, Siti Asiam dan Siti Munawarah. Mas Rino mengadakan acara milad prodi perbankan syariah. Ingin rasa nya makan tumpeng, namun teman-teman mahasiswa sudah nunggu di ruangan ku. saya harus segera menemui mereka. Jadi lupa makan tumpeng. Meskipun demikian, saya mengapresiasi acara tersebut, acara sederhana, tapi istimewa. Sebab langsung dihadiri oleh Pimpinan Bank BSI, Ilham Halid, S.Si, ME.

Sedangkan dua dosen cantik lagi sibuk-sibuknya membuat daftar ujian proposal skripsi. Saya kebagian mengecek apakah benar-benar proposal nya asli atau aspal-asli tapi palsu. Itu juga yang dilakukan oleh dosen-dosen zaman saya masih kuliah. Keringat dingin ketika ujian proposal skripsi. “Melihat penguji skripsi rasanya ingin kencing terus” kata teman ku -dulu- saat akan ujian proposal skripsi dan juga saat ujian skripsi bulan berikutnya.

Kursi ujian skripsi benar-benar berubah menjadi kursi panas. Saya ingat teman-teman ku dulu. rata-rata baju basah oleh keringat saat ujian skripsi. Padahal penguji Santai, tidak marah. pertanyaan-pertanyaan disampaikan dengan sangat sopan, lembut dan suasana sangat rilek. Justru karena situasi yang demikian, para mahasiswa semakin deg-deg an di ruangan yang terlihat hening. Ujian skripsi benar-benar seperti persidangan di pengadilan, hening dan tegang.

Para pemburu sarjana tempo dulu siang malam mengumpulkan data, menulis skripsi dengan teliti. Itupun saat ujian masih kurang tenang. Selalu ada rasa kekhawatiran. Saat melihat hasil ujian dan bernilai baik sekali -nilai A- maka ada rasa bangga luarbiasa. bangga karena telah mendapatkan capaian prestasi tertinggi.

Alam mungkin sudah mulai berubah. Dari era “pinjam buku” atau beli buku “loakan” di pinggir jalan berganti dengan era digital yang telah menyediakan sumber buku seperti toserba. Semua ada. bahkan dengan aplikasi “AI” mereka bisa membuat skripsi dengan hitungan jam. Skripsi siap saji. Jadi, skripsi sudah tidak lagi karya keramat seperti dulu, bukan lagi cermin ketinggian keilmuan seorang mahasiswa, tapi seolah-olah sebatas “karcis” untuk menuju ke jenjang berikutnya. Kursi ujian tidak lagi panas. Bahkan bisa sudah tidak lagi merasakan ladzat nya arti dari sebuah karya ilmiah.

Mungkin itu perasaan ku. pemikiran ku yang terlalu “jadul” bisa jadi sudah tidak cocok lagi dengan zaman digital. Sekarang adalah era dimana -mungkin-kehebatan kualitas skripsi bukan segala-gala nya. Mahasiswa sudah bisa memilih dunia nya melalui keahlian-keahlian yang bisa didapat dan dikembangkan pada laman-laman digital yang tersebar tanpa batas. Mereka bisa belajar dan menemukan jati diri -bisa jadi-bukan di kampus, tapi di ruang dunia maya.

Memang dunia digital saat sekarang ini telah membunuh sumber-sumber ilmu yang ada di buku-buku. Denny J.A pernah menulis tentang ambruknya per-buku-an di Indonesia. menurutnya, para penulis yang sudah punya nama sangat kesulitan untuk mendapatkan royalty sebesar 2 juta. Ini dampak dari arah mata angin minat masyarakat Indonesia yang sangat focus pada sumber-sumber online. Akibatnya media-media massa, penerbit dan percetakan buku banyak yang gulung tikar.

Ketika saudara rino riyaldi menelpon ku pada jam 14.03 menit, agar memberi kata sambutan di acara milad prodi perbankan syariah, saya melihat kendaraan roda dua memenuhi pelataran perpustakaan iain datuk laksemana. Saya berfikir bahwa penelitian Denny J.A tidak semua benar. Agak sedikit terbantahkan dari data kendaraan yang berada di pelataran perpustakaan. Animo mahasiswa membaca buku masih sangat tinggi.

Ketika saya masuk ke perpustakaan cukup kaget. Ternyata kendaraan roda dua tersebut sebagian besar milik mahasiswa yang sedang merayakan milad tadi. Ada rasa sedih. mungkin karena pengaruh masa lalu ku yang merasa sangat kesulitan mencari buku untuk memenuhi tugas kuliah para dosen. Kadang harus naik ojek menuju ke perpustakaan. Bahkan kadang satu hari full mulai pagi sampai sore berada di perpustakaan.

Apakah era modern ditandai dengan migrasi arah kiblat dari buku ke teknologi? Apakah memang tanda dari kemodernan suatu bangsa dari segala sesuatu yang bersifat mekanik?. Tentu saja pertanyaan ini bisa melahirkan beragam jawaban.

Namun hari ini juga, saya menemukan data di facebook tentang negara-negara yang mempunyai minat baca buku tertinggi dari negara yang ada di dunia. pertama, Amerika Serikat, kedua India, ketiga Inggris, keempat Prancis, dan kelima Italia. Indonesia di nomor urutan ke-30.

Mungkin anda sedikit iskal dalam pikiran anda adalah negara India. Seolah-olah antara minat baca dengan kondisi bangsa nya -seolah-olah-sangat kontradiktif. Jika dilihat di media sosial, berbicara India tidak lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan. tentu jika anda berfikir demikian, jelas kurang tepat.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang diterbitkan di koran Kompas -lupa tahun berapa-tentang pendidikan di India. Artikel tersebut menceritakan keadaan perguruan tinggi laksana SD Inpres Zaman Orde Baru: kotor, berdebu dan dosen nya pun ke kampus kadang naik Sepeda Ontel. Bahkan kadang dosen harus membersihkan meja dan kursi dengan buku nya karena banyak debu.

Hasil produk pendidikan India sangat besar digunakan di pasar negara-negara barat. itu tahun 1990-an. Lulusan India sudah mendominasi di negara barat. Sebagai gambaran sederhana, tahun 1997 saja, dalam satu juta penduduk India ada sekitar 1.250 yang bergelar doktor. Indonesia pada tahun yang sama setiap satu juta penduduk baru 65 bergelar doktor. Padahal -lagi-lagi, perguruan tinggi India saat itu-dikatakan oleh Kompas-seperti SD Impres. Penuh dengan keterbatasan fasilitas.

Penulis artikel ini akhirnya menyimpulkan bahwa budaya minat baca atau doyan membaca merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mewujudkan status kemodernan dari suatu bangsa. Bagaimana pun, membaca merupakan nutrisi otak yang membuat manusia bisa menciptakan kerangka-kerangkan kebudayaan dan peradaban lebih kuat dan akan membentuk peradaban baru yang yang lebih mapan. Istilah kaum sufi, peradaban insanul kamil.

Setelah selesai acara milad, saya turun ke lantai dasar. Saya melihat deretan buku-buku dan beberapa mahasiswa sedang duduk-duduk. Saya menatap rak-rak tersebut, seolah-olah ada tangisan pilu dan jeritan menyedihkan buku-buku. Mereka ingin sekali disapa dan diajak berdialog. Ada rasa kesunyian yang sangat mendalam. Seolah-olah seperti itu-jika mereka bisa berbicara. Manusia dan buku seolah-olah telah menjadi dua makhluk asing yang hidup dalam perbedaan alam. Mereka hidup dalam keramaian dunia, tapi sepi dalam jiwa. Suatu suasana batin yang memilukan. Di Perpustakaan, ada tangisan tanpa air mata. 



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121

Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   191

Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176

Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104

Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10395


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120