
Hari ini saya memenuhi undangan dosen muda
hebat-hebat: Rino Riyaldi, Siti Asiam dan Siti Munawarah. Mas Rino mengadakan
acara milad prodi perbankan syariah. Ingin rasa nya makan tumpeng, namun teman-teman
mahasiswa sudah nunggu di ruangan ku. saya harus segera menemui mereka. Jadi lupa makan tumpeng. Meskipun demikian, saya mengapresiasi acara tersebut, acara sederhana, tapi istimewa. Sebab langsung dihadiri oleh Pimpinan
Bank BSI, Ilham Halid, S.Si, ME.
Sedangkan dua dosen cantik lagi
sibuk-sibuknya membuat daftar ujian proposal skripsi. Saya kebagian mengecek
apakah benar-benar proposal nya asli atau aspal-asli tapi palsu. Itu juga yang
dilakukan oleh dosen-dosen zaman saya masih kuliah. Keringat dingin ketika
ujian proposal skripsi. “Melihat penguji skripsi rasanya ingin kencing terus”
kata teman ku -dulu- saat akan ujian proposal skripsi dan juga saat ujian skripsi
bulan berikutnya.
Kursi ujian skripsi benar-benar berubah
menjadi kursi panas. Saya ingat teman-teman ku dulu. rata-rata baju basah oleh
keringat saat ujian skripsi. Padahal penguji Santai, tidak marah. pertanyaan-pertanyaan
disampaikan dengan sangat sopan, lembut dan suasana sangat rilek. Justru karena
situasi yang demikian, para mahasiswa semakin deg-deg an di ruangan yang
terlihat hening. Ujian skripsi benar-benar seperti persidangan di pengadilan,
hening dan tegang.
Para pemburu sarjana tempo dulu siang malam
mengumpulkan data, menulis skripsi dengan teliti. Itupun saat ujian masih
kurang tenang. Selalu ada rasa kekhawatiran. Saat melihat hasil ujian dan
bernilai baik sekali -nilai A- maka ada rasa bangga luarbiasa. bangga karena telah
mendapatkan capaian prestasi tertinggi.
Alam mungkin sudah mulai berubah. Dari era “pinjam
buku” atau beli buku “loakan” di pinggir jalan berganti dengan era
digital yang telah menyediakan sumber buku seperti toserba. Semua ada. bahkan
dengan aplikasi “AI” mereka bisa membuat skripsi dengan hitungan jam. Skripsi siap
saji. Jadi, skripsi sudah tidak lagi karya keramat seperti dulu, bukan lagi
cermin ketinggian keilmuan seorang mahasiswa, tapi seolah-olah sebatas “karcis”
untuk menuju ke jenjang berikutnya. Kursi ujian tidak lagi panas. Bahkan bisa sudah
tidak lagi merasakan ladzat nya arti dari sebuah karya ilmiah.
Mungkin itu perasaan ku. pemikiran ku yang
terlalu “jadul” bisa jadi sudah tidak cocok lagi dengan zaman digital. Sekarang
adalah era dimana -mungkin-kehebatan kualitas skripsi bukan segala-gala nya. Mahasiswa
sudah bisa memilih dunia nya melalui keahlian-keahlian yang bisa didapat dan
dikembangkan pada laman-laman digital yang tersebar tanpa batas. Mereka bisa
belajar dan menemukan jati diri -bisa jadi-bukan di kampus, tapi di ruang dunia
maya.
Memang dunia digital saat sekarang ini
telah membunuh sumber-sumber ilmu yang ada di buku-buku. Denny J.A pernah
menulis tentang ambruknya per-buku-an di Indonesia. menurutnya, para penulis
yang sudah punya nama sangat kesulitan untuk mendapatkan royalty sebesar 2
juta. Ini dampak dari arah mata angin minat masyarakat Indonesia yang sangat focus
pada sumber-sumber online. Akibatnya media-media massa, penerbit dan percetakan
buku banyak yang gulung tikar.
Ketika saudara rino riyaldi menelpon ku
pada jam 14.03 menit, agar memberi kata sambutan di acara milad prodi perbankan
syariah, saya melihat kendaraan roda dua memenuhi pelataran perpustakaan iain
datuk laksemana. Saya berfikir bahwa penelitian Denny J.A tidak semua benar. Agak
sedikit terbantahkan dari data kendaraan yang berada di pelataran perpustakaan.
Animo mahasiswa membaca buku masih sangat tinggi.
Ketika saya masuk ke perpustakaan cukup
kaget. Ternyata kendaraan roda dua tersebut sebagian besar milik mahasiswa yang
sedang merayakan milad tadi. Ada rasa sedih. mungkin karena pengaruh masa lalu
ku yang merasa sangat kesulitan mencari buku untuk memenuhi tugas kuliah para
dosen. Kadang harus naik ojek menuju ke perpustakaan. Bahkan kadang satu hari
full mulai pagi sampai sore berada di perpustakaan.
Apakah era modern ditandai dengan migrasi
arah kiblat dari buku ke teknologi? Apakah memang tanda dari kemodernan suatu
bangsa dari segala sesuatu yang bersifat mekanik?. Tentu saja pertanyaan ini
bisa melahirkan beragam jawaban.
Namun hari ini juga, saya menemukan data di
facebook tentang negara-negara yang mempunyai minat baca buku tertinggi dari
negara yang ada di dunia. pertama, Amerika Serikat, kedua India, ketiga Inggris,
keempat Prancis, dan kelima Italia. Indonesia di nomor urutan ke-30.
Mungkin anda sedikit iskal dalam pikiran anda adalah negara India. Seolah-olah antara minat baca dengan kondisi bangsa nya -seolah-olah-sangat kontradiktif. Jika dilihat di media sosial, berbicara India tidak lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan. tentu jika anda berfikir demikian, jelas kurang tepat.
Saya pernah membaca sebuah artikel
yang diterbitkan di koran Kompas -lupa tahun berapa-tentang pendidikan di India.
Artikel tersebut menceritakan keadaan perguruan tinggi laksana SD Inpres Zaman
Orde Baru: kotor, berdebu dan dosen nya pun ke kampus kadang naik Sepeda Ontel.
Bahkan kadang dosen harus membersihkan meja dan kursi dengan buku nya karena
banyak debu.
Hasil produk pendidikan India sangat besar
digunakan di pasar negara-negara barat. itu tahun 1990-an. Lulusan India sudah
mendominasi di negara barat. Sebagai gambaran sederhana, tahun 1997 saja, dalam
satu juta penduduk India ada sekitar 1.250 yang bergelar doktor. Indonesia pada
tahun yang sama setiap satu juta penduduk baru 65 bergelar doktor. Padahal -lagi-lagi,
perguruan tinggi India saat itu-dikatakan oleh Kompas-seperti SD Impres. Penuh dengan
keterbatasan fasilitas.
Penulis artikel ini akhirnya menyimpulkan
bahwa budaya minat baca atau doyan membaca merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam mewujudkan status kemodernan dari suatu bangsa. Bagaimana pun,
membaca merupakan nutrisi otak yang membuat manusia bisa menciptakan
kerangka-kerangkan kebudayaan dan peradaban lebih kuat dan akan membentuk
peradaban baru yang yang lebih mapan. Istilah kaum sufi, peradaban insanul
kamil.
Setelah selesai acara milad, saya turun ke
lantai dasar. Saya melihat deretan buku-buku dan beberapa mahasiswa sedang
duduk-duduk. Saya menatap rak-rak tersebut, seolah-olah ada tangisan pilu dan
jeritan menyedihkan buku-buku. Mereka ingin sekali disapa dan diajak berdialog.
Ada rasa kesunyian yang sangat mendalam. Seolah-olah seperti itu-jika mereka
bisa berbicara. Manusia dan buku seolah-olah telah menjadi dua makhluk asing
yang hidup dalam perbedaan alam. Mereka hidup dalam keramaian dunia, tapi sepi dalam
jiwa. Suatu suasana batin yang memilukan. Di Perpustakaan, ada tangisan tanpa
air mata.
Penulis : Vijianfaiz,PhD
Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121
Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   191
Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176
Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104
Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10395
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3201
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120