Avatar

Vijianfaiz,PhD

Penulis Kolom

250 ARTIKEL TELAH DITERBITKAN

" "

Tangisan Hati Sang Pendidik


 DIARY

Minggu , 19 Oktober 2025



Telah dibaca :  297

(Catatan kecil kegiatan organisasi kemahasiswaan Formadiksi pada tanggal 18 Oktober 2025)

Ketika Nabi Muhammad sakit keras, ada kalimat yang sangat indah keluar dari mulutnya: “umati,umati, umati..”-umat ku, umatku, umat ku. Kalimat pendek tetapi penuh dengan makna mendalam. Makna tentang arti penting sebuah cinta seorang nabi kepada sahabat-sahabat nya dan kepada seluruh pengikutnya. Nabi Muhammad merupakan murabi, mudaris, mu’alim dan sekaligus muaddib yang merefleksikan dari tugas kenabian yaitu membentuk umat manusia makarimal akhlak.

Kecintaan Nabi terhadap umatnya telah diabadikan dalam Hadist Bukhari sebagai berikut:

“Setiap Nabi mempunyai doa yang telah dikabulkan, sedangkan aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat untuk umat ku di Akhirat nanti”.

Nabi Muhammad seorang yang mempunyai rasa cinta yang sangat mendalam kepada umat manusia. ketika masyarakat Thaif melempar batu sehingga dirinya luka-luka dan mengeluarkan darah segar, malaikat emosi melihat kekejaman mereka. Ia ingin menghancurkan mereka jika nabi mengizinkannya. Namun dengan senyum, nabi menolak jasa kebaikan nya. Bahkan Nabi mendoakan kepada para kaum kafirin agar Allah memberi hidayah dan masuk ke dalam agama Islam.

Saya membayangkan hubungan Nabi dan umat nya bukan sebatas hubungan seperti seorang pemimpin dan rakyat nya, bukan sebatas hubungan administrasi, yang sering kita lihat saat ini dalam pola hubungan di era modern. Selesai menyampaikan wahyu, tugas sudah selesai. Atau selesai mengintruksikan kepada bawahan, tugas sudah selesai. Baik mendapatkan reward, salah mendapatkan punishment. Pola hubungan yang tidak demikian.

Nabi Muhammad membangun hubungan dengan umatnya berdasarkan kecintaan yang tulus atas nama keimanan. Namun bukan iman yang mandul, eksklusif dan individualisme. Bukan keimanan sebatas untuk menunjukan kesolehan diri tanpa memperdulikan nasib orang lain. Nabi menciptakan pola hubungan cinta atas dasar iman yang rahmat kepada semesta alam. Ada rasa penyatuan antara dirinya dan umatnya yang sangat mendalam. Saat mereka sakit, ia merasakan sakit. Saat mereka bahagia, ia pun merasakan bahagia. Sehingga ketika akan terjadi permisahan secara jasmaniah dengan dicabut ruh nya dari jasadnya, ia menangisi umat nya.

Pola hubungan sistem pendidikan Nabi dan umatnya telah dicontoh oleh para ulama. Salah satunya ulama-ulama yang telah menyebarkan agama Islam di Nusantara. Mereka mendirikan Pondok Pesantren yang kemudian sistem pendidikan agama ini terus tumbuh di seluruh Nusantara.

Hadratusyeikh kh. Hasyim asy’ari sangat mencintai santri nya. dengan segala keterbatasan ekonomi para santri, hadratusyeikh tidak segan-segan mencarikan pekerjaan agar para santri bisa tetap ngaji memperdalam ilmu agama. hal yang demikian juga terjadi di pesantren-pesantren lainnya.

Pola kecintaan para pemimpin pesantren saat itu mengingat rata-rata para santri yang ingin belajar ilmu agama di pesantren berlatarbelakang ekonomi lemah. Mereka hanya bermodal “nekad” tanpa membawa bekal apapun kecuali bekal semangat membara di dalam hati untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren. Sebab saat itu, pesantren menjadi pilihan bagi masyarakat menengah ke bawah. Berbeda kaum ningrat, yang anak-anak nya sekolah di sekolah pemerintah dan perguruan tinggi -yang saat kolonialisme- dalam kekuasaan penjajah Belanda. Jadi pesantren sebagai antithesis dari pendidikan umum milik Belanda.

Sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan kemandirian santri. Para wali santri sering kali menitipkan anak-anak nya hanya sebatas pasrah “bongko an”-pasrah tanpa memberi modal-kadang hanya memberi beras atau uang ala kadarnya kepada pemimpin untuk bekal nyantri sepanjang mereka ingin belajar agama. Sehingga banyak santri harus belajar sambil mencari bekal hidup agar bisa tetap belajar di pesantren dengan cara sebagai berikut: ada bekerja sebagai petani bergabung dengan masyarakat kampung, ada yang bekerja mengembala kambing milik pengasuh, ada juga yang bisa menjadi “abdi dalem” rumah pemimpin pesantren untuk membuatkan air minum ketika ada tamu-tamu datang ke rumah nya. Hasil pengabdian ini, para santri kemudian hari ia menjadi orang sukses menjadi ulama, pengasuh pesantren, pejabat atau menjadi pengusaha sukses.

Pola pesantren tradisional seperti ini mengadopsi sistem pendidikan Nabi Muhammad SAW. Ada seorang sahabat bernama Anas bin Malik. Ia menjadi pelayan Nabi selama kurang lebih 10 tahun. Ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali sebatas makanan dan minuman apa adanya. Namun berkah menjadi abdi dalem, Anas bin Malik bisa belajar begitu banyak tentang agama dan akhlakul karimah.

Keberkahan Anas bin Malik antara lain -selain di atas-yaitu mendapatkan doa. atas berkah doa Nabi, Anas bin Malik mendapatkan berkah berupa keturunan yang sangat banyak, ‘alim dan sholeh. Ia juga mendapatkan keberkahan berupa rezki melimpah yang sangat besar.

Pola pendidikan nabi yang telah diteruskan oleh lembaga pendidikan pesantren telah  melahirkan generasi santri Indonesia yang sangat konsisten menjalankan agama, siap melakukan jihad fisabilillah dalam membela agama dan negara, menjunjung tinggi akhlakul karimah dan terus berkarya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.

Semua ini berkah pola hubungan ulama dan santri yang sangat kuat hubungan emosial dan spiritualnya. Hampir 24 jam kegiatan pesantren dan sebagian besar para ulama selalu menemani mereka. Saat malam hari, para kyai sholat tahajud dan mendoakan para santri agar mendapatkan keberkahan hidup setelah selesai mendapatkan pendidikan di pesantren.

Namun kenangan indah hubungan antara pendidik dan peserta didik diatas, seolah-olah buyar. Ada rasa sedih di dalam hati. Ada seorang kepala sekolah harus melepaskan jabatannya karena kasus satu pelajar merokok. Ada guru dicaci maki oleh seorang muridnya yang sedang mengajar. Ada guru yang dianiaya oleh siswa nya. banyak kasus yang sliweran di media sosial. Sedih dan ingin menangis. Kata kunci yang sering unggulan orang timur tentang “unggah-ungguh, moralitas yang agung dan akhlakul karimah” seolah-olah tinggal kenangan.

Meskipun kejadian tersebut bukan lembaga pendidikan di pesantren. Namun saya sangat sedih, kenapa ini terjadi di lembaga pendidikan.

Para pendidik menangis. Mereka tidak mungkin membiarkan semua ini terjadi. Tapi jika mereka melakukan kewajiban nya justru menjadi persoalan yang sangat serius mengancam keberadaan para pendidik. Seperti makan buah simalakama. Tidak makan lapar, makan buah malah jadi penyakit.

Apakah perlu pendidikan umum mencontoh sistem pendidikan ruhaniah pola pesantren?. Biarkan sejarah pendidikan yang menilainya. Wallahu a’lam.



Penulis : Vijianfaiz,PhD


Bagikan Ke :

Tulis Komentar


   Berita Terkait

Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121

Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   190

Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176

Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104

Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258

   Berita Popular

Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10391


Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3200


Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287


Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120