
(Catatan kecil kegiatan organisasi
kemahasiswaan Formadiksi pada tanggal 18 Oktober 2025)
Ketika Nabi Muhammad sakit keras, ada
kalimat yang sangat indah keluar dari mulutnya: “umati,umati, umati..”-umat
ku, umatku, umat ku. Kalimat pendek tetapi penuh dengan makna mendalam. Makna tentang
arti penting sebuah cinta seorang nabi kepada sahabat-sahabat nya dan kepada
seluruh pengikutnya. Nabi Muhammad merupakan murabi, mudaris, mu’alim
dan sekaligus muaddib yang merefleksikan dari tugas kenabian yaitu
membentuk umat manusia makarimal akhlak.
Kecintaan Nabi terhadap umatnya telah
diabadikan dalam Hadist Bukhari sebagai berikut:
“Setiap Nabi mempunyai doa yang telah
dikabulkan, sedangkan aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat untuk umat ku
di Akhirat nanti”.
Nabi Muhammad seorang yang mempunyai rasa
cinta yang sangat mendalam kepada umat manusia. ketika masyarakat Thaif
melempar batu sehingga dirinya luka-luka dan mengeluarkan darah segar, malaikat
emosi melihat kekejaman mereka. Ia ingin menghancurkan mereka jika nabi
mengizinkannya. Namun dengan senyum, nabi menolak jasa kebaikan nya. Bahkan
Nabi mendoakan kepada para kaum kafirin agar Allah memberi hidayah dan masuk ke
dalam agama Islam.
Saya membayangkan hubungan Nabi dan umat
nya bukan sebatas hubungan seperti seorang pemimpin dan rakyat nya, bukan sebatas
hubungan administrasi, yang sering kita lihat saat ini dalam pola hubungan di
era modern. Selesai menyampaikan wahyu, tugas sudah selesai. Atau selesai mengintruksikan
kepada bawahan, tugas sudah selesai. Baik mendapatkan reward, salah
mendapatkan punishment. Pola hubungan yang tidak demikian.
Nabi Muhammad membangun hubungan dengan
umatnya berdasarkan kecintaan yang tulus atas nama keimanan. Namun bukan iman
yang mandul, eksklusif dan individualisme. Bukan keimanan sebatas untuk
menunjukan kesolehan diri tanpa memperdulikan nasib orang lain. Nabi menciptakan
pola hubungan cinta atas dasar iman yang rahmat kepada semesta alam. Ada rasa
penyatuan antara dirinya dan umatnya yang sangat mendalam. Saat mereka sakit,
ia merasakan sakit. Saat mereka bahagia, ia pun merasakan bahagia. Sehingga
ketika akan terjadi permisahan secara jasmaniah dengan dicabut ruh nya dari
jasadnya, ia menangisi umat nya.
Pola hubungan sistem pendidikan Nabi dan
umatnya telah dicontoh oleh para ulama. Salah satunya ulama-ulama yang telah
menyebarkan agama Islam di Nusantara. Mereka mendirikan Pondok Pesantren yang
kemudian sistem pendidikan agama ini terus tumbuh di seluruh Nusantara.
Hadratusyeikh kh. Hasyim asy’ari sangat
mencintai santri nya. dengan segala keterbatasan ekonomi para santri,
hadratusyeikh tidak segan-segan mencarikan pekerjaan agar para santri bisa
tetap ngaji memperdalam ilmu agama. hal yang demikian juga terjadi di pesantren-pesantren
lainnya.
Pola kecintaan para pemimpin pesantren saat
itu mengingat rata-rata para santri yang ingin belajar ilmu agama di pesantren
berlatarbelakang ekonomi lemah. Mereka hanya bermodal “nekad” tanpa
membawa bekal apapun kecuali bekal semangat membara di dalam hati untuk
memperdalam ilmu agama di Pesantren. Sebab saat itu, pesantren menjadi pilihan
bagi masyarakat menengah ke bawah. Berbeda kaum ningrat, yang anak-anak nya
sekolah di sekolah pemerintah dan perguruan tinggi -yang saat kolonialisme-
dalam kekuasaan penjajah Belanda. Jadi pesantren sebagai antithesis dari pendidikan
umum milik Belanda.
Sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan
kemandirian santri. Para wali santri sering kali menitipkan anak-anak nya hanya
sebatas pasrah “bongko an”-pasrah tanpa memberi modal-kadang hanya
memberi beras atau uang ala kadarnya kepada pemimpin untuk bekal nyantri
sepanjang mereka ingin belajar agama. Sehingga banyak santri harus belajar
sambil mencari bekal hidup agar bisa tetap belajar di pesantren dengan cara
sebagai berikut: ada bekerja sebagai petani bergabung dengan masyarakat
kampung, ada yang bekerja mengembala kambing milik pengasuh, ada juga yang bisa
menjadi “abdi dalem” rumah pemimpin pesantren untuk membuatkan air minum ketika
ada tamu-tamu datang ke rumah nya. Hasil pengabdian ini, para santri kemudian
hari ia menjadi orang sukses menjadi ulama, pengasuh pesantren, pejabat atau
menjadi pengusaha sukses.
Pola pesantren tradisional seperti ini
mengadopsi sistem pendidikan Nabi Muhammad SAW. Ada seorang sahabat bernama Anas
bin Malik. Ia menjadi pelayan Nabi selama kurang lebih 10 tahun. Ia tidak
mendapatkan apa-apa kecuali sebatas makanan dan minuman apa adanya. Namun berkah
menjadi abdi dalem, Anas bin Malik bisa belajar begitu banyak tentang
agama dan akhlakul karimah.
Keberkahan Anas bin Malik antara lain
-selain di atas-yaitu mendapatkan doa. atas berkah doa Nabi, Anas bin Malik mendapatkan
berkah berupa keturunan yang sangat banyak, ‘alim dan sholeh. Ia juga
mendapatkan keberkahan berupa rezki melimpah yang sangat besar.
Pola pendidikan nabi yang telah diteruskan
oleh lembaga pendidikan pesantren telah
melahirkan generasi santri Indonesia yang sangat konsisten menjalankan
agama, siap melakukan jihad fisabilillah dalam membela agama dan negara, menjunjung
tinggi akhlakul karimah dan terus berkarya untuk kebaikan dan kemaslahatan
umat.
Semua ini berkah pola hubungan ulama dan
santri yang sangat kuat hubungan emosial dan spiritualnya. Hampir 24 jam
kegiatan pesantren dan sebagian besar para ulama selalu menemani mereka. Saat malam
hari, para kyai sholat tahajud dan mendoakan para santri agar mendapatkan
keberkahan hidup setelah selesai mendapatkan pendidikan di pesantren.
Namun kenangan indah hubungan antara
pendidik dan peserta didik diatas, seolah-olah buyar. Ada rasa sedih di
dalam hati. Ada seorang kepala sekolah harus melepaskan jabatannya karena kasus
satu pelajar merokok. Ada guru dicaci maki oleh seorang muridnya yang sedang
mengajar. Ada guru yang dianiaya oleh siswa nya. banyak kasus yang sliweran
di media sosial. Sedih dan ingin menangis. Kata kunci yang sering unggulan orang
timur tentang “unggah-ungguh, moralitas yang agung dan akhlakul karimah”
seolah-olah tinggal kenangan.
Meskipun kejadian tersebut bukan lembaga pendidikan
di pesantren. Namun saya sangat sedih, kenapa ini terjadi di lembaga pendidikan.
Para pendidik menangis. Mereka tidak
mungkin membiarkan semua ini terjadi. Tapi jika mereka melakukan kewajiban nya
justru menjadi persoalan yang sangat serius mengancam keberadaan para pendidik.
Seperti makan buah simalakama. Tidak makan lapar, makan buah malah jadi
penyakit.
Apakah perlu pendidikan umum mencontoh
sistem pendidikan ruhaniah pola pesantren?. Biarkan sejarah pendidikan yang
menilainya. Wallahu a’lam.
Penulis : Vijianfaiz,PhD
Lomba Debat
06 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   121
Little is Beautiful:Catatan Expo HMPS KPI
05 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   190
Melihat Kejadian dengan Kacamata Iman
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   176
Cahaya Ketenangan Batin
04 November 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   104
Expo Kemandirian Pesantren: Tantangan Bukan Rintangan
30 Oktober 2025   Oleh : Vijianfaiz,PhD   258
Mengintegrasikan Iman, Islam dan Ihsan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Minggu , 17 September 2023      10391
Pentingnya Manusia Ber-Tuhan
Minggu , 03 September 2023      3200
Puasa dan Ilmu Padi
Rabu , 03 April 2024      2287
IMPLEMENTASI HAK-HAK POLITIK KELOMPOK MINORITAS MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Rabu , 18 Januari 2023      2255
Sejuta Rasa di Hari Idul Fitri
Kamis , 11 April 2024      2120